COMMITMENT IN LEADERSHIP
Oleh:
FEBRIANA SABRIAN
Contoh kasus:
JAKARTA | Surya Online - Tudingan adanya praktek mafia hukum di tubuh Polri dalam penanganan kasus money laundring oknum pegawai pajak bernama Gayus Halomoan Tambunan semakin melebar. Tak hanya Polri dan para penyidiknya, Kejaksaan Agung dan tim jaksa peneliti pun turut gerah dengan tudingan Susno Duadji yang mulai merembet ke mereka. Mereka (tim jaksa peneliti) pun bersuara mengungkap kronologis penanganan kasus Gayus.
Kasus bermula dari kecurigaan Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) terhadap rekening milik Gayus di Bank Panin. Polri, diungkapkan Cirrus Sinaga, seorang dari empat tim jaksa peneliti, lantas melakukan penyelidikan terhadap kasus ini. Tanggal 7 Oktober 2009 penyidik Bareskrim Mabes Polri menetapkan Gayus sebagai tersangka dengan mengirimkan Surat Pemberitahuan Dimulainya Penyidikan (SPDP).
Dalam berkas yang dikirimkan penyidik Polri, Gayus dijerat dengan tiga pasal berlapis yakni pasal korupsi, pencucian uang, dan penggelapan. “Karena Gayus seorang pegawai negeri dan memiliki dana Rp. 25 miliar di Bank Panin. Kok bisa pegawai negeri yang hanya golongan III A punya uang sebanyak itu,” kata Cirrus mengungkap alasan mengapa awalnya Gayus dijerat tiga pasal berlapis.
Seiring hasil penelitian jaksa, hanya terdapat satu pasal yang terbukti terindikasi kejahatan dan dapat dilimpahkan ke Pengadilan, yaitu penggelapannya. Itu pun tidak terkait dengan uang senilai Rp.25 milliar yang diributkan PPATK dan Polri itu. Untuk korupsinya, terkait dana Rp.25 milliar itu tidak dapat dibuktikan sebab dalam penelitian ternyata uang sebesar itu merupakan produk perjanjian Gayus dengan Andi Kosasih. Pengusaha garmen asal Batam ini mengaku pemilik uang senilai hampir Rp.25 miliar di rekening Bank Panin milik Gayus.
Dari perkembangan proses penyidikan kasus tersebut, dikatakannya, ditemukan juga adanya aliran dana senilai Rp 370 juta di rekening lainnya di bank BCA milik Gayus. Uang itu diketahui berasal dari dua transaksi dari PT.Mega Cipta Jaya Garmindo. PT. Mega Cipta Jaya Garmindo dimiliki oleh pengusaha Korea, Mr. Son dan bergerak di bidang garmen.
Setelah diteliti dan disidik, uang itu merupakan penggelapan pajak murni. Itu uang untuk membantu pengurusan pajak pendirian pabrik garmen di Sukabumi. Tapi setelah dicek, pemiliknya Mr Son, warga Korea, tidak tahu berada di mana. Tapi uang masuk ke rekening Gayus. Tapi ternyata dia nggak urus (pajaknya). Uang itu tidak digunakan dan dikembalikan, jadi hanya diam di rekening Gayus,” jelas Cirrus. Berkas Gayus pun dilimpahkan ke pengadilan. “Jaksa lalu mengajukan tuntutan 1 tahun dan masa percobaan 1 tahun,” lengkap jaksa penuntut umum Antasari itu.
Pembahasan
Dari contoh kasus di atas, kita dapat melihat absennya nilai komitmen pada diri Gayus Halomoan Tambunan sehingga apa yang dilakukannya tidak sejalan dengan tujuan organisasi/instansi tempatnya bekerja, yaitu Direktorat Jenderal Pajak. Sebagai sebuah institusi pemerintah, Direktorat Jenderal Pajak memiliki visi untuk menyelenggarakan sistem administrasi perpajakan modern yang efektif, efisien, dan dipercaya masyarakat dengan integritas dan profesionalisme yang tinggi. Visi ini diharapkan dapat terwujud melalui misi menghimpun penerimaan pajak negara berdasarkan Undang-undang Perpajakan yang mampu mewujudkan kemandirian pembiayaan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara melalui sistem administrasi perpajakan yang efektif dan efisien (Ditjen Pajak, 2010).
Dengan dicetuskannya visi dan misi Direktorat Jenderal Pajak tersebut, diharapkan semua elemen yang berada di dalamnya memiliki komitmen untuk bersama-sama mewujudkan tujuan institusi. Tetapi hal ini kiranya tidak sejalan dengan apa yang akhir-akhir ini marak diberitakan di media massa, dilakukan oleh Gayus.
Komitmen merupakan sebuah kata yang akrab didengar maupun sering diucapkan. Apakah sebenarnya komitmen itu? Dalam arti kontekstualnya komitmen berarti memenuhi janji atau bertanggung jawab (Salimah, 2009). Komitmen mempunyai makna yang sangat besar bagi setiap organisasi. Untuk dapat meraih cita-cita ataupun tujuan, diperlukan komitmen semua pelaku dalam organisasi tersebut.
Menurut Luthans (1995) dalam Wikipedia (2009), komitmen organisasi didefinisikan sebagai keinginan yang kuat untuk mempertahankan seorang anggota organisasi tertentu; sebuah kemauan yang kuat untuk berusaha mempertahankan nama organisasi; dan keyakinan tertentu, penerimaan nilai dan tujuan organisasi. Hal ini merupakan sikap yang merefleksikan loyalitas karyawan pada organisasi dan proses berkelanjutan di mana anggota organisasi mengekspresikan perhatiannya terhadap organisasi dan keberhasilan serta kemajuan yang berkelanjutan.
Meyer dan Allen (1991) dalam Karina (2009) merumuskan suatu definisi komitmen dalam berorganisasi sebagai suatu konstruk psikologis yang merupakan karakteristik hubungan anggota organisasi dengan organisasinya dan memiliki implikasi terhadap keputusan individu untuk melanjutkan keanggotaannya dalam berorganisasi. Berdasarkan definisi tersebut anggota yang memiliki komitmen terhadap organisasinya akan lebih dapat bertahan sebagai bagian dari organisasi dibandingkan anggota yang tidak memiliki komitmen terhadap organisasi.
Pendekatan lain mengenai definisi komitmen yaitu kemampuan dan kemauan untuk menyelaraskan perilaku pribadi dengan kebutuhan, prioritas dan sasaran organisasi. Ini mencakup cara-cara mengembangkan tujuan atau memenuhi kebutuhan organisasi. Intinya adalah mendahulukan misi organisasi dari kepentingan pribadi (Indosdm.com, 2010).
Komponen-komponen Komitmen dalam Organisasi
Menurut Michael Amstrong dalam Salimah (2009), komitmen memiliki tiga komponen:
1. Penyatuan dengan tujuan dan nilai-nilai perusahaan/organisasi. Artinya bahwa semua anggota organisasi harus menyatukan tujuan masing-masing individu dengan tujuan perusahaan. Setiap anggota organisasi harus menerapkan nilai-nilai yang ada di organisasi tersebut.
2. Keinginan untuk tetap bersama dalam perusahaan/organisasi. Anggota yang dinyatakan memiliki komitmen adalah anggota yang ingin tetap berada dalam organisasi tersebut. Sebagai contoh, karyawan yang berkomitmen terhadap sebuah perusahaan, akan memiliki keinginan untuk tetap berada di dalam perusahaan tersebut. Jika ia mencari perusahaan lain, berarti komitmennya diragukan.
3. Kesediaan untuk bekerja keras atas nama organisasi. Seseorang yang memiliki komitmen dalam organisasi akan bersedia untuk mengeluarkan kemampuan terbaiknya dan bekerja keras untuk kemajuan organisasi tersebut.
Dimensi Komitmen Organisasi
Meyer dan Allen (1997) dalam Karina (2009) mengemukakan tiga dimensi komitmen dalam berorganisasi:
1. Affective commitment. Hal ini berkaitan dengan hubungan emosional anggota terhadap organisasinya, identifikasi dengan organisasi, dan keterlibatan anggota dengan kegiatan di organisasi. Anggota organisasi dengan affective commitment yang tinggi akan terus menjadi anggota dalam organisasi karena memang memiliki keinginan untuk itu. Komitmen afektif seseorang akan menjadi lebih kuat bila pengalamannya dalam suatu organisasi konsisten dengan harapan-harapan dan memuaskan kebutuhan dasarnya dan sebaliknya.
2. Continuance commitment. Dimensi ini berkaitan dengan kesadaran anggota organisasi akan mengalami kerugian jika meninggalkan organisasi. Anggota organisasi dengan continuance commitment yang tinggi akan terus menjadi anggota dalam organisasi karena mereka memiliki kebutuhan untuk menjadi anggota organisasi tersebut. Konsep dimensi ini menekankan pada sumbangan yang dapat diberikan seseorang yang sewaktu-waktu dapat hilang jika orang itu meninggalkan organisasi. Tindakan meninggalkan organisasi menjadi sesuatu yang berresiko tinggi karena orang merasa takut akan kehilangan sumbangan yang mereka tanamkan pada organisasi itu dan menyadari bahwa mereka tak mungkin mencari gantinya.
3. Normative commitment. Dimensi ini menggambarkan perasaan keterikatan untuk terus berada dalam organisasi. Anggota organisasi dengan normative commitment yang tinggi akan terus menjadi anggota dalam organisasi karena merasa dirinya harus berada dalam organisasi tersebut. Komitmen normatif bisa dipengaruhi beberapa aspek antara lain sosialisasi awal dan bentuk peran seseorang dari pengalaman organisasinya.
Indikator Perilaku Komitmen
Seseorang yang berkomitmen terhadap sebuah organisasi akan mengindikasikan perilaku sebagai berikut yang tercermin dalam rentang skala (-1) – (4):
(-1) Mengabaikan norma-norma organisasi
a. Mengabaikan atau memberontak terhadap norma-norma organisasi.
(0) Tidak tampak atau hanya menunjukkan usaha yang minimal
a. Memberikan usaha yang minimal agar cocok di organisasi atau agar tetap memiliki pekerjaan tersebut.
(1) Melakukan usaha penyesuaian
a. Melakukan upaya agar cocok di organisasi dan melakukan apa yang diharapkan.
b. Menghormati norma organisasi, menuruti peraturan dan ketentuan yang berlaku.
(2) Meneladani kesetiaan
a. Membantu orang lain menyelesaikan pekerjaan mereka.
b. Menghormati dan menerima hal yang dianggap penting oleh atasan.
c. Bangga menjadi bagian dari organisasi.
d. Peduli tentang citra organisasi.
(3) Mendukung organisasi secara aktif
a. Bertindak untuk mendukung misi dan tujuan organisasi.
b. Membuat pilihan dan prioritas untuk memenuhi kebutuhan/misi organisasi dan menyesuaikan diri dengan misi organisasi.
(4) Melakukan pengorbanan pribadi
a. Menempatkan kepentingan organisasi di atas kepentingan sendiri.
b. Melakukan pengorbanan dalam hal pilihan pribadi misalnya identitas profesional, urusan keluarga.
c. Mendukung keputusan yang menguntungkan organisasi meskipun keputusan tersebut tidak disenangi.
Jika melihat pada contoh kasus Gayus yang telah dibicarakan sebelumnya, merujuk kepada indikator perilaku komitmen, maka Gayus hanya berada pada rentang skala 0. Gayus mungkin telah memberikan usaha yang minimal agar cocok di organisasi atau agar tetap memiliki pekerjaan tersebut, tetapi penggelapan yang telah dilakukannya tidak mematuhi peraturan dan ketentuan yang berlaku di organisasi serta tidak mendukung misi dan tujuan organisasi.
Komitmen dalam Konteks Keperawatan
Yoder-Wise dan Kowalski (2006) berpendapat bahwa bagian dari karakter yang kuat adalah kemampuan untuk membuat dan menjaga komitmen. Untuk memperoleh kesuksesan, leaders perlu untuk memahami konsep dari komitmen, termasuk kapan saatnya untuk membuat komitmen dan kapan untuk mengakhirinya (Sull, 2003 dalam Yoder-Wise dan Kowalski, 2006).
Banyak contoh dimana individu berjanji pada diri sendiri dan berkomitmen akan sesuatu hal, tetapi tidak dapat mempertahankannya sampai akhir. Maxwell (1999) dalam Yoder-Wise dan Kowalski (2006) mengatakan bahwa komitmen adalah kemauan dari fikiran untuk menyelesaikan segala hal yang telah dimulai oleh perasaan, sehingga janji yang telah dibuat dapat terlaksana. Dalam hal ini, walaupun sesuatu tidak lagi dapat memberikan kesenangan kepada individu, malah seseorang harus merelakan waktunya dan bekerja keras, seorang leader akan tetap commit untuk melaksanakan janjinya. Perbedaan antara individu yang sukses dengan yang tidak bukanlah terletak pada kurangnya pengetahuan atau keterampilan, melainkan pada kurangnya komitmen.
Komitmen dalam konteks keperawatan dapat diperlihatkan dalam berbagai aspek:
1. Bagi perawat pelaksana
Komitmen adalah kemauan untuk kembali kepada situasi dan rutinitas dimana perawat tak henti-hentinya mendapatkan tantangan dari pasien.
2. Bagi manajer perawat
Komitmen adalah kemamuan untuk mengarahkan anggota-anggotanya.
3. Bagi pendidik/pengajar
Komitmen adalah kemamuan untuk menjadi antusias akan konten yang telah berkali-kali diajarkan selayaknya hal tersebut baru diberikan pertama kali dan selalu menemukan hal-hal baru yang menarik dalam rentang waktu tersebut Yoder-Wise dan Kowalski (2006).
Banyak kolega keperawatan yang berbicara mengenai komitmen terhadap kualitas pelayanan keperawatan, tetapi tindakan nyatalah yang kemudian memisahkan individu yang sebenar-benarnya memiliki komitmen dengan yang tidak. Apabila leaders berkeinginan untuk membuat perubahan pada hidup seseorang, mereka harus menunjukkan komitmen kepada orang lain.
Menurut Michelman (2004) dalam Yoder-Wise dan Kowalski (2006), leaders dapat bertanya pada dirinya sendiri untuk mengeksplorasi komitmen dan rasa bahagia dalam dirinya. Diantaranya yaitu: apakah seorang leader bekerja karena upah yang tinggi, karena status, atau karena pekerjaan memberikan mereka perasaan mengendalikan? Apakah ia benar-benar peduli terhadap perawat-perawat? Apakah ia berkeinginan untuk menumbuhkembangkan kemampuan perawat agar dapat memberikan pelayanan berkualitas seperti yang akan dilakukannya seandainya ia adalah seorang perawat pelaksana? Apakah seorang leader memahami kenapa ia terpilih untuk menempati posisi pimpinan?
Seorang leader perlu untuk mengevaluasi dan mengenali diri sehingga tidak berujung kepada kegagalan proses leadership. Menurut Michelman (2004) dalam Yoder-Wise dan Kowalski (2006), banyak orang yang ingin menjadi CEO, tetapi tidak mau melaksanakan tugas dan tanggung jawab seorang CEO. Begitu juga di dalam konteks keperawatan, banyak leader yang ingin menjadi seorang CNO, tetapi tidak ingin melaksanakan tugas dan tanggung jawab seorang CNO.
Daftar Pustaka
Direktorat Jenderal Pajak. (2010). Visi dan Misi Direktorat Jenderal Pajak. Diakses pada http://www.pajak.go.id/index.php?option=com_content &view=article&id=92&Itemid=116 pada tanggal 30 Maret 2010 pukul 19.30.
Indosdm. (2008). Kamus Kompetensi: Komitmen Organisasi (Organizational Commitment). Diakses pada http://indosdm.com/kamus-kompetensi-komitmen-organisasi-organization-commitment pada tanggal 25 Maret 2010 pukul 18.30.
Karina. (2009). Komitmen Organisasi. Diakses pada http://rumahbelajarpsikologi. com/index.php/komitmen-organisasi.html pada tanggal 25 Maret 2010 pukul 18.30
Salimah, Siti. (2009). Membangun Komitmen Organisasi. Diakses pada http://indosdm.com/komponen-komponen-komitmen-dalam-organisasi pada tanggal 25 Maret 2010 pukul 18.30.
Surya Online. (2010). Kronologi Kasus Gayus Versi Kejaksaan. Diakses pada http://www.surya.co.id/2010/03/22/kronologi-kasus-gayus-versi-kejaksaan. html pada tanggal 25 Maret 2010 pada pukul 18.30.
Wikipedia. (2009). Komitmen organisasi. Diakses pada http://id. wikipedia.org /wiki/Komitmen_organisasi pada tanggal 25 Maret 2010 pukul 18.30.
Yoder-Wise, P.S. & Kowalski, K.E. (2006). Beyond Leading and Managing: Nursing Administration for the Future. St.Louis : Mosby Elsevier Inc.
Minggu, 28 Agustus 2011
COMMITMENT IN LEADERSHIP
COMMITMENT IN LEADERSHIP
Oleh:
FEBRIANA SABRIAN
Contoh kasus:
JAKARTA | Surya Online - Tudingan adanya praktek mafia hukum di tubuh Polri dalam penanganan kasus money laundring oknum pegawai pajak bernama Gayus Halomoan Tambunan semakin melebar. Tak hanya Polri dan para penyidiknya, Kejaksaan Agung dan tim jaksa peneliti pun turut gerah dengan tudingan Susno Duadji yang mulai merembet ke mereka. Mereka (tim jaksa peneliti) pun bersuara mengungkap kronologis penanganan kasus Gayus.
Kasus bermula dari kecurigaan Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) terhadap rekening milik Gayus di Bank Panin. Polri, diungkapkan Cirrus Sinaga, seorang dari empat tim jaksa peneliti, lantas melakukan penyelidikan terhadap kasus ini. Tanggal 7 Oktober 2009 penyidik Bareskrim Mabes Polri menetapkan Gayus sebagai tersangka dengan mengirimkan Surat Pemberitahuan Dimulainya Penyidikan (SPDP).
Dalam berkas yang dikirimkan penyidik Polri, Gayus dijerat dengan tiga pasal berlapis yakni pasal korupsi, pencucian uang, dan penggelapan. “Karena Gayus seorang pegawai negeri dan memiliki dana Rp. 25 miliar di Bank Panin. Kok bisa pegawai negeri yang hanya golongan III A punya uang sebanyak itu,” kata Cirrus mengungkap alasan mengapa awalnya Gayus dijerat tiga pasal berlapis.
Seiring hasil penelitian jaksa, hanya terdapat satu pasal yang terbukti terindikasi kejahatan dan dapat dilimpahkan ke Pengadilan, yaitu penggelapannya. Itu pun tidak terkait dengan uang senilai Rp.25 milliar yang diributkan PPATK dan Polri itu. Untuk korupsinya, terkait dana Rp.25 milliar itu tidak dapat dibuktikan sebab dalam penelitian ternyata uang sebesar itu merupakan produk perjanjian Gayus dengan Andi Kosasih. Pengusaha garmen asal Batam ini mengaku pemilik uang senilai hampir Rp.25 miliar di rekening Bank Panin milik Gayus.
Dari perkembangan proses penyidikan kasus tersebut, dikatakannya, ditemukan juga adanya aliran dana senilai Rp 370 juta di rekening lainnya di bank BCA milik Gayus. Uang itu diketahui berasal dari dua transaksi dari PT.Mega Cipta Jaya Garmindo. PT. Mega Cipta Jaya Garmindo dimiliki oleh pengusaha Korea, Mr. Son dan bergerak di bidang garmen.
Setelah diteliti dan disidik, uang itu merupakan penggelapan pajak murni. Itu uang untuk membantu pengurusan pajak pendirian pabrik garmen di Sukabumi. Tapi setelah dicek, pemiliknya Mr Son, warga Korea, tidak tahu berada di mana. Tapi uang masuk ke rekening Gayus. Tapi ternyata dia nggak urus (pajaknya). Uang itu tidak digunakan dan dikembalikan, jadi hanya diam di rekening Gayus,” jelas Cirrus. Berkas Gayus pun dilimpahkan ke pengadilan. “Jaksa lalu mengajukan tuntutan 1 tahun dan masa percobaan 1 tahun,” lengkap jaksa penuntut umum Antasari itu.
Pembahasan
Dari contoh kasus di atas, kita dapat melihat absennya nilai komitmen pada diri Gayus Halomoan Tambunan sehingga apa yang dilakukannya tidak sejalan dengan tujuan organisasi/instansi tempatnya bekerja, yaitu Direktorat Jenderal Pajak. Sebagai sebuah institusi pemerintah, Direktorat Jenderal Pajak memiliki visi untuk menyelenggarakan sistem administrasi perpajakan modern yang efektif, efisien, dan dipercaya masyarakat dengan integritas dan profesionalisme yang tinggi. Visi ini diharapkan dapat terwujud melalui misi menghimpun penerimaan pajak negara berdasarkan Undang-undang Perpajakan yang mampu mewujudkan kemandirian pembiayaan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara melalui sistem administrasi perpajakan yang efektif dan efisien (Ditjen Pajak, 2010).
Dengan dicetuskannya visi dan misi Direktorat Jenderal Pajak tersebut, diharapkan semua elemen yang berada di dalamnya memiliki komitmen untuk bersama-sama mewujudkan tujuan institusi. Tetapi hal ini kiranya tidak sejalan dengan apa yang akhir-akhir ini marak diberitakan di media massa, dilakukan oleh Gayus.
Komitmen merupakan sebuah kata yang akrab didengar maupun sering diucapkan. Apakah sebenarnya komitmen itu? Dalam arti kontekstualnya komitmen berarti memenuhi janji atau bertanggung jawab (Salimah, 2009). Komitmen mempunyai makna yang sangat besar bagi setiap organisasi. Untuk dapat meraih cita-cita ataupun tujuan, diperlukan komitmen semua pelaku dalam organisasi tersebut.
Menurut Luthans (1995) dalam Wikipedia (2009), komitmen organisasi didefinisikan sebagai keinginan yang kuat untuk mempertahankan seorang anggota organisasi tertentu; sebuah kemauan yang kuat untuk berusaha mempertahankan nama organisasi; dan keyakinan tertentu, penerimaan nilai dan tujuan organisasi. Hal ini merupakan sikap yang merefleksikan loyalitas karyawan pada organisasi dan proses berkelanjutan di mana anggota organisasi mengekspresikan perhatiannya terhadap organisasi dan keberhasilan serta kemajuan yang berkelanjutan.
Meyer dan Allen (1991) dalam Karina (2009) merumuskan suatu definisi komitmen dalam berorganisasi sebagai suatu konstruk psikologis yang merupakan karakteristik hubungan anggota organisasi dengan organisasinya dan memiliki implikasi terhadap keputusan individu untuk melanjutkan keanggotaannya dalam berorganisasi. Berdasarkan definisi tersebut anggota yang memiliki komitmen terhadap organisasinya akan lebih dapat bertahan sebagai bagian dari organisasi dibandingkan anggota yang tidak memiliki komitmen terhadap organisasi.
Pendekatan lain mengenai definisi komitmen yaitu kemampuan dan kemauan untuk menyelaraskan perilaku pribadi dengan kebutuhan, prioritas dan sasaran organisasi. Ini mencakup cara-cara mengembangkan tujuan atau memenuhi kebutuhan organisasi. Intinya adalah mendahulukan misi organisasi dari kepentingan pribadi (Indosdm.com, 2010).
Komponen-komponen Komitmen dalam Organisasi
Menurut Michael Amstrong dalam Salimah (2009), komitmen memiliki tiga komponen:
1. Penyatuan dengan tujuan dan nilai-nilai perusahaan/organisasi. Artinya bahwa semua anggota organisasi harus menyatukan tujuan masing-masing individu dengan tujuan perusahaan. Setiap anggota organisasi harus menerapkan nilai-nilai yang ada di organisasi tersebut.
2. Keinginan untuk tetap bersama dalam perusahaan/organisasi. Anggota yang dinyatakan memiliki komitmen adalah anggota yang ingin tetap berada dalam organisasi tersebut. Sebagai contoh, karyawan yang berkomitmen terhadap sebuah perusahaan, akan memiliki keinginan untuk tetap berada di dalam perusahaan tersebut. Jika ia mencari perusahaan lain, berarti komitmennya diragukan.
3. Kesediaan untuk bekerja keras atas nama organisasi. Seseorang yang memiliki komitmen dalam organisasi akan bersedia untuk mengeluarkan kemampuan terbaiknya dan bekerja keras untuk kemajuan organisasi tersebut.
Dimensi Komitmen Organisasi
Meyer dan Allen (1997) dalam Karina (2009) mengemukakan tiga dimensi komitmen dalam berorganisasi:
1. Affective commitment. Hal ini berkaitan dengan hubungan emosional anggota terhadap organisasinya, identifikasi dengan organisasi, dan keterlibatan anggota dengan kegiatan di organisasi. Anggota organisasi dengan affective commitment yang tinggi akan terus menjadi anggota dalam organisasi karena memang memiliki keinginan untuk itu. Komitmen afektif seseorang akan menjadi lebih kuat bila pengalamannya dalam suatu organisasi konsisten dengan harapan-harapan dan memuaskan kebutuhan dasarnya dan sebaliknya.
2. Continuance commitment. Dimensi ini berkaitan dengan kesadaran anggota organisasi akan mengalami kerugian jika meninggalkan organisasi. Anggota organisasi dengan continuance commitment yang tinggi akan terus menjadi anggota dalam organisasi karena mereka memiliki kebutuhan untuk menjadi anggota organisasi tersebut. Konsep dimensi ini menekankan pada sumbangan yang dapat diberikan seseorang yang sewaktu-waktu dapat hilang jika orang itu meninggalkan organisasi. Tindakan meninggalkan organisasi menjadi sesuatu yang berresiko tinggi karena orang merasa takut akan kehilangan sumbangan yang mereka tanamkan pada organisasi itu dan menyadari bahwa mereka tak mungkin mencari gantinya.
3. Normative commitment. Dimensi ini menggambarkan perasaan keterikatan untuk terus berada dalam organisasi. Anggota organisasi dengan normative commitment yang tinggi akan terus menjadi anggota dalam organisasi karena merasa dirinya harus berada dalam organisasi tersebut. Komitmen normatif bisa dipengaruhi beberapa aspek antara lain sosialisasi awal dan bentuk peran seseorang dari pengalaman organisasinya.
Indikator Perilaku Komitmen
Seseorang yang berkomitmen terhadap sebuah organisasi akan mengindikasikan perilaku sebagai berikut yang tercermin dalam rentang skala (-1) – (4):
(-1) Mengabaikan norma-norma organisasi
a. Mengabaikan atau memberontak terhadap norma-norma organisasi.
(0) Tidak tampak atau hanya menunjukkan usaha yang minimal
a. Memberikan usaha yang minimal agar cocok di organisasi atau agar tetap memiliki pekerjaan tersebut.
(1) Melakukan usaha penyesuaian
a. Melakukan upaya agar cocok di organisasi dan melakukan apa yang diharapkan.
b. Menghormati norma organisasi, menuruti peraturan dan ketentuan yang berlaku.
(2) Meneladani kesetiaan
a. Membantu orang lain menyelesaikan pekerjaan mereka.
b. Menghormati dan menerima hal yang dianggap penting oleh atasan.
c. Bangga menjadi bagian dari organisasi.
d. Peduli tentang citra organisasi.
(3) Mendukung organisasi secara aktif
a. Bertindak untuk mendukung misi dan tujuan organisasi.
b. Membuat pilihan dan prioritas untuk memenuhi kebutuhan/misi organisasi dan menyesuaikan diri dengan misi organisasi.
(4) Melakukan pengorbanan pribadi
a. Menempatkan kepentingan organisasi di atas kepentingan sendiri.
b. Melakukan pengorbanan dalam hal pilihan pribadi misalnya identitas profesional, urusan keluarga.
c. Mendukung keputusan yang menguntungkan organisasi meskipun keputusan tersebut tidak disenangi.
Jika melihat pada contoh kasus Gayus yang telah dibicarakan sebelumnya, merujuk kepada indikator perilaku komitmen, maka Gayus hanya berada pada rentang skala 0. Gayus mungkin telah memberikan usaha yang minimal agar cocok di organisasi atau agar tetap memiliki pekerjaan tersebut, tetapi penggelapan yang telah dilakukannya tidak mematuhi peraturan dan ketentuan yang berlaku di organisasi serta tidak mendukung misi dan tujuan organisasi.
Komitmen dalam Konteks Keperawatan
Yoder-Wise dan Kowalski (2006) berpendapat bahwa bagian dari karakter yang kuat adalah kemampuan untuk membuat dan menjaga komitmen. Untuk memperoleh kesuksesan, leaders perlu untuk memahami konsep dari komitmen, termasuk kapan saatnya untuk membuat komitmen dan kapan untuk mengakhirinya (Sull, 2003 dalam Yoder-Wise dan Kowalski, 2006).
Banyak contoh dimana individu berjanji pada diri sendiri dan berkomitmen akan sesuatu hal, tetapi tidak dapat mempertahankannya sampai akhir. Maxwell (1999) dalam Yoder-Wise dan Kowalski (2006) mengatakan bahwa komitmen adalah kemauan dari fikiran untuk menyelesaikan segala hal yang telah dimulai oleh perasaan, sehingga janji yang telah dibuat dapat terlaksana. Dalam hal ini, walaupun sesuatu tidak lagi dapat memberikan kesenangan kepada individu, malah seseorang harus merelakan waktunya dan bekerja keras, seorang leader akan tetap commit untuk melaksanakan janjinya. Perbedaan antara individu yang sukses dengan yang tidak bukanlah terletak pada kurangnya pengetahuan atau keterampilan, melainkan pada kurangnya komitmen.
Komitmen dalam konteks keperawatan dapat diperlihatkan dalam berbagai aspek:
1. Bagi perawat pelaksana
Komitmen adalah kemauan untuk kembali kepada situasi dan rutinitas dimana perawat tak henti-hentinya mendapatkan tantangan dari pasien.
2. Bagi manajer perawat
Komitmen adalah kemamuan untuk mengarahkan anggota-anggotanya.
3. Bagi pendidik/pengajar
Komitmen adalah kemamuan untuk menjadi antusias akan konten yang telah berkali-kali diajarkan selayaknya hal tersebut baru diberikan pertama kali dan selalu menemukan hal-hal baru yang menarik dalam rentang waktu tersebut Yoder-Wise dan Kowalski (2006).
Banyak kolega keperawatan yang berbicara mengenai komitmen terhadap kualitas pelayanan keperawatan, tetapi tindakan nyatalah yang kemudian memisahkan individu yang sebenar-benarnya memiliki komitmen dengan yang tidak. Apabila leaders berkeinginan untuk membuat perubahan pada hidup seseorang, mereka harus menunjukkan komitmen kepada orang lain.
Menurut Michelman (2004) dalam Yoder-Wise dan Kowalski (2006), leaders dapat bertanya pada dirinya sendiri untuk mengeksplorasi komitmen dan rasa bahagia dalam dirinya. Diantaranya yaitu: apakah seorang leader bekerja karena upah yang tinggi, karena status, atau karena pekerjaan memberikan mereka perasaan mengendalikan? Apakah ia benar-benar peduli terhadap perawat-perawat? Apakah ia berkeinginan untuk menumbuhkembangkan kemampuan perawat agar dapat memberikan pelayanan berkualitas seperti yang akan dilakukannya seandainya ia adalah seorang perawat pelaksana? Apakah seorang leader memahami kenapa ia terpilih untuk menempati posisi pimpinan?
Seorang leader perlu untuk mengevaluasi dan mengenali diri sehingga tidak berujung kepada kegagalan proses leadership. Menurut Michelman (2004) dalam Yoder-Wise dan Kowalski (2006), banyak orang yang ingin menjadi CEO, tetapi tidak mau melaksanakan tugas dan tanggung jawab seorang CEO. Begitu juga di dalam konteks keperawatan, banyak leader yang ingin menjadi seorang CNO, tetapi tidak ingin melaksanakan tugas dan tanggung jawab seorang CNO.
Daftar Pustaka
Direktorat Jenderal Pajak. (2010). Visi dan Misi Direktorat Jenderal Pajak. Diakses pada http://www.pajak.go.id/index.php?option=com_content &view=article&id=92&Itemid=116 pada tanggal 30 Maret 2010 pukul 19.30.
Indosdm. (2008). Kamus Kompetensi: Komitmen Organisasi (Organizational Commitment). Diakses pada http://indosdm.com/kamus-kompetensi-komitmen-organisasi-organization-commitment pada tanggal 25 Maret 2010 pukul 18.30.
Karina. (2009). Komitmen Organisasi. Diakses pada http://rumahbelajarpsikologi. com/index.php/komitmen-organisasi.html pada tanggal 25 Maret 2010 pukul 18.30
Salimah, Siti. (2009). Membangun Komitmen Organisasi. Diakses pada http://indosdm.com/komponen-komponen-komitmen-dalam-organisasi pada tanggal 25 Maret 2010 pukul 18.30.
Surya Online. (2010). Kronologi Kasus Gayus Versi Kejaksaan. Diakses pada http://www.surya.co.id/2010/03/22/kronologi-kasus-gayus-versi-kejaksaan. html pada tanggal 25 Maret 2010 pada pukul 18.30.
Wikipedia. (2009). Komitmen organisasi. Diakses pada http://id. wikipedia.org /wiki/Komitmen_organisasi pada tanggal 25 Maret 2010 pukul 18.30.
Yoder-Wise, P.S. & Kowalski, K.E. (2006). Beyond Leading and Managing: Nursing Administration for the Future. St.Louis : Mosby Elsevier Inc.
Oleh:
FEBRIANA SABRIAN
Contoh kasus:
JAKARTA | Surya Online - Tudingan adanya praktek mafia hukum di tubuh Polri dalam penanganan kasus money laundring oknum pegawai pajak bernama Gayus Halomoan Tambunan semakin melebar. Tak hanya Polri dan para penyidiknya, Kejaksaan Agung dan tim jaksa peneliti pun turut gerah dengan tudingan Susno Duadji yang mulai merembet ke mereka. Mereka (tim jaksa peneliti) pun bersuara mengungkap kronologis penanganan kasus Gayus.
Kasus bermula dari kecurigaan Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) terhadap rekening milik Gayus di Bank Panin. Polri, diungkapkan Cirrus Sinaga, seorang dari empat tim jaksa peneliti, lantas melakukan penyelidikan terhadap kasus ini. Tanggal 7 Oktober 2009 penyidik Bareskrim Mabes Polri menetapkan Gayus sebagai tersangka dengan mengirimkan Surat Pemberitahuan Dimulainya Penyidikan (SPDP).
Dalam berkas yang dikirimkan penyidik Polri, Gayus dijerat dengan tiga pasal berlapis yakni pasal korupsi, pencucian uang, dan penggelapan. “Karena Gayus seorang pegawai negeri dan memiliki dana Rp. 25 miliar di Bank Panin. Kok bisa pegawai negeri yang hanya golongan III A punya uang sebanyak itu,” kata Cirrus mengungkap alasan mengapa awalnya Gayus dijerat tiga pasal berlapis.
Seiring hasil penelitian jaksa, hanya terdapat satu pasal yang terbukti terindikasi kejahatan dan dapat dilimpahkan ke Pengadilan, yaitu penggelapannya. Itu pun tidak terkait dengan uang senilai Rp.25 milliar yang diributkan PPATK dan Polri itu. Untuk korupsinya, terkait dana Rp.25 milliar itu tidak dapat dibuktikan sebab dalam penelitian ternyata uang sebesar itu merupakan produk perjanjian Gayus dengan Andi Kosasih. Pengusaha garmen asal Batam ini mengaku pemilik uang senilai hampir Rp.25 miliar di rekening Bank Panin milik Gayus.
Dari perkembangan proses penyidikan kasus tersebut, dikatakannya, ditemukan juga adanya aliran dana senilai Rp 370 juta di rekening lainnya di bank BCA milik Gayus. Uang itu diketahui berasal dari dua transaksi dari PT.Mega Cipta Jaya Garmindo. PT. Mega Cipta Jaya Garmindo dimiliki oleh pengusaha Korea, Mr. Son dan bergerak di bidang garmen.
Setelah diteliti dan disidik, uang itu merupakan penggelapan pajak murni. Itu uang untuk membantu pengurusan pajak pendirian pabrik garmen di Sukabumi. Tapi setelah dicek, pemiliknya Mr Son, warga Korea, tidak tahu berada di mana. Tapi uang masuk ke rekening Gayus. Tapi ternyata dia nggak urus (pajaknya). Uang itu tidak digunakan dan dikembalikan, jadi hanya diam di rekening Gayus,” jelas Cirrus. Berkas Gayus pun dilimpahkan ke pengadilan. “Jaksa lalu mengajukan tuntutan 1 tahun dan masa percobaan 1 tahun,” lengkap jaksa penuntut umum Antasari itu.
Pembahasan
Dari contoh kasus di atas, kita dapat melihat absennya nilai komitmen pada diri Gayus Halomoan Tambunan sehingga apa yang dilakukannya tidak sejalan dengan tujuan organisasi/instansi tempatnya bekerja, yaitu Direktorat Jenderal Pajak. Sebagai sebuah institusi pemerintah, Direktorat Jenderal Pajak memiliki visi untuk menyelenggarakan sistem administrasi perpajakan modern yang efektif, efisien, dan dipercaya masyarakat dengan integritas dan profesionalisme yang tinggi. Visi ini diharapkan dapat terwujud melalui misi menghimpun penerimaan pajak negara berdasarkan Undang-undang Perpajakan yang mampu mewujudkan kemandirian pembiayaan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara melalui sistem administrasi perpajakan yang efektif dan efisien (Ditjen Pajak, 2010).
Dengan dicetuskannya visi dan misi Direktorat Jenderal Pajak tersebut, diharapkan semua elemen yang berada di dalamnya memiliki komitmen untuk bersama-sama mewujudkan tujuan institusi. Tetapi hal ini kiranya tidak sejalan dengan apa yang akhir-akhir ini marak diberitakan di media massa, dilakukan oleh Gayus.
Komitmen merupakan sebuah kata yang akrab didengar maupun sering diucapkan. Apakah sebenarnya komitmen itu? Dalam arti kontekstualnya komitmen berarti memenuhi janji atau bertanggung jawab (Salimah, 2009). Komitmen mempunyai makna yang sangat besar bagi setiap organisasi. Untuk dapat meraih cita-cita ataupun tujuan, diperlukan komitmen semua pelaku dalam organisasi tersebut.
Menurut Luthans (1995) dalam Wikipedia (2009), komitmen organisasi didefinisikan sebagai keinginan yang kuat untuk mempertahankan seorang anggota organisasi tertentu; sebuah kemauan yang kuat untuk berusaha mempertahankan nama organisasi; dan keyakinan tertentu, penerimaan nilai dan tujuan organisasi. Hal ini merupakan sikap yang merefleksikan loyalitas karyawan pada organisasi dan proses berkelanjutan di mana anggota organisasi mengekspresikan perhatiannya terhadap organisasi dan keberhasilan serta kemajuan yang berkelanjutan.
Meyer dan Allen (1991) dalam Karina (2009) merumuskan suatu definisi komitmen dalam berorganisasi sebagai suatu konstruk psikologis yang merupakan karakteristik hubungan anggota organisasi dengan organisasinya dan memiliki implikasi terhadap keputusan individu untuk melanjutkan keanggotaannya dalam berorganisasi. Berdasarkan definisi tersebut anggota yang memiliki komitmen terhadap organisasinya akan lebih dapat bertahan sebagai bagian dari organisasi dibandingkan anggota yang tidak memiliki komitmen terhadap organisasi.
Pendekatan lain mengenai definisi komitmen yaitu kemampuan dan kemauan untuk menyelaraskan perilaku pribadi dengan kebutuhan, prioritas dan sasaran organisasi. Ini mencakup cara-cara mengembangkan tujuan atau memenuhi kebutuhan organisasi. Intinya adalah mendahulukan misi organisasi dari kepentingan pribadi (Indosdm.com, 2010).
Komponen-komponen Komitmen dalam Organisasi
Menurut Michael Amstrong dalam Salimah (2009), komitmen memiliki tiga komponen:
1. Penyatuan dengan tujuan dan nilai-nilai perusahaan/organisasi. Artinya bahwa semua anggota organisasi harus menyatukan tujuan masing-masing individu dengan tujuan perusahaan. Setiap anggota organisasi harus menerapkan nilai-nilai yang ada di organisasi tersebut.
2. Keinginan untuk tetap bersama dalam perusahaan/organisasi. Anggota yang dinyatakan memiliki komitmen adalah anggota yang ingin tetap berada dalam organisasi tersebut. Sebagai contoh, karyawan yang berkomitmen terhadap sebuah perusahaan, akan memiliki keinginan untuk tetap berada di dalam perusahaan tersebut. Jika ia mencari perusahaan lain, berarti komitmennya diragukan.
3. Kesediaan untuk bekerja keras atas nama organisasi. Seseorang yang memiliki komitmen dalam organisasi akan bersedia untuk mengeluarkan kemampuan terbaiknya dan bekerja keras untuk kemajuan organisasi tersebut.
Dimensi Komitmen Organisasi
Meyer dan Allen (1997) dalam Karina (2009) mengemukakan tiga dimensi komitmen dalam berorganisasi:
1. Affective commitment. Hal ini berkaitan dengan hubungan emosional anggota terhadap organisasinya, identifikasi dengan organisasi, dan keterlibatan anggota dengan kegiatan di organisasi. Anggota organisasi dengan affective commitment yang tinggi akan terus menjadi anggota dalam organisasi karena memang memiliki keinginan untuk itu. Komitmen afektif seseorang akan menjadi lebih kuat bila pengalamannya dalam suatu organisasi konsisten dengan harapan-harapan dan memuaskan kebutuhan dasarnya dan sebaliknya.
2. Continuance commitment. Dimensi ini berkaitan dengan kesadaran anggota organisasi akan mengalami kerugian jika meninggalkan organisasi. Anggota organisasi dengan continuance commitment yang tinggi akan terus menjadi anggota dalam organisasi karena mereka memiliki kebutuhan untuk menjadi anggota organisasi tersebut. Konsep dimensi ini menekankan pada sumbangan yang dapat diberikan seseorang yang sewaktu-waktu dapat hilang jika orang itu meninggalkan organisasi. Tindakan meninggalkan organisasi menjadi sesuatu yang berresiko tinggi karena orang merasa takut akan kehilangan sumbangan yang mereka tanamkan pada organisasi itu dan menyadari bahwa mereka tak mungkin mencari gantinya.
3. Normative commitment. Dimensi ini menggambarkan perasaan keterikatan untuk terus berada dalam organisasi. Anggota organisasi dengan normative commitment yang tinggi akan terus menjadi anggota dalam organisasi karena merasa dirinya harus berada dalam organisasi tersebut. Komitmen normatif bisa dipengaruhi beberapa aspek antara lain sosialisasi awal dan bentuk peran seseorang dari pengalaman organisasinya.
Indikator Perilaku Komitmen
Seseorang yang berkomitmen terhadap sebuah organisasi akan mengindikasikan perilaku sebagai berikut yang tercermin dalam rentang skala (-1) – (4):
(-1) Mengabaikan norma-norma organisasi
a. Mengabaikan atau memberontak terhadap norma-norma organisasi.
(0) Tidak tampak atau hanya menunjukkan usaha yang minimal
a. Memberikan usaha yang minimal agar cocok di organisasi atau agar tetap memiliki pekerjaan tersebut.
(1) Melakukan usaha penyesuaian
a. Melakukan upaya agar cocok di organisasi dan melakukan apa yang diharapkan.
b. Menghormati norma organisasi, menuruti peraturan dan ketentuan yang berlaku.
(2) Meneladani kesetiaan
a. Membantu orang lain menyelesaikan pekerjaan mereka.
b. Menghormati dan menerima hal yang dianggap penting oleh atasan.
c. Bangga menjadi bagian dari organisasi.
d. Peduli tentang citra organisasi.
(3) Mendukung organisasi secara aktif
a. Bertindak untuk mendukung misi dan tujuan organisasi.
b. Membuat pilihan dan prioritas untuk memenuhi kebutuhan/misi organisasi dan menyesuaikan diri dengan misi organisasi.
(4) Melakukan pengorbanan pribadi
a. Menempatkan kepentingan organisasi di atas kepentingan sendiri.
b. Melakukan pengorbanan dalam hal pilihan pribadi misalnya identitas profesional, urusan keluarga.
c. Mendukung keputusan yang menguntungkan organisasi meskipun keputusan tersebut tidak disenangi.
Jika melihat pada contoh kasus Gayus yang telah dibicarakan sebelumnya, merujuk kepada indikator perilaku komitmen, maka Gayus hanya berada pada rentang skala 0. Gayus mungkin telah memberikan usaha yang minimal agar cocok di organisasi atau agar tetap memiliki pekerjaan tersebut, tetapi penggelapan yang telah dilakukannya tidak mematuhi peraturan dan ketentuan yang berlaku di organisasi serta tidak mendukung misi dan tujuan organisasi.
Komitmen dalam Konteks Keperawatan
Yoder-Wise dan Kowalski (2006) berpendapat bahwa bagian dari karakter yang kuat adalah kemampuan untuk membuat dan menjaga komitmen. Untuk memperoleh kesuksesan, leaders perlu untuk memahami konsep dari komitmen, termasuk kapan saatnya untuk membuat komitmen dan kapan untuk mengakhirinya (Sull, 2003 dalam Yoder-Wise dan Kowalski, 2006).
Banyak contoh dimana individu berjanji pada diri sendiri dan berkomitmen akan sesuatu hal, tetapi tidak dapat mempertahankannya sampai akhir. Maxwell (1999) dalam Yoder-Wise dan Kowalski (2006) mengatakan bahwa komitmen adalah kemauan dari fikiran untuk menyelesaikan segala hal yang telah dimulai oleh perasaan, sehingga janji yang telah dibuat dapat terlaksana. Dalam hal ini, walaupun sesuatu tidak lagi dapat memberikan kesenangan kepada individu, malah seseorang harus merelakan waktunya dan bekerja keras, seorang leader akan tetap commit untuk melaksanakan janjinya. Perbedaan antara individu yang sukses dengan yang tidak bukanlah terletak pada kurangnya pengetahuan atau keterampilan, melainkan pada kurangnya komitmen.
Komitmen dalam konteks keperawatan dapat diperlihatkan dalam berbagai aspek:
1. Bagi perawat pelaksana
Komitmen adalah kemauan untuk kembali kepada situasi dan rutinitas dimana perawat tak henti-hentinya mendapatkan tantangan dari pasien.
2. Bagi manajer perawat
Komitmen adalah kemamuan untuk mengarahkan anggota-anggotanya.
3. Bagi pendidik/pengajar
Komitmen adalah kemamuan untuk menjadi antusias akan konten yang telah berkali-kali diajarkan selayaknya hal tersebut baru diberikan pertama kali dan selalu menemukan hal-hal baru yang menarik dalam rentang waktu tersebut Yoder-Wise dan Kowalski (2006).
Banyak kolega keperawatan yang berbicara mengenai komitmen terhadap kualitas pelayanan keperawatan, tetapi tindakan nyatalah yang kemudian memisahkan individu yang sebenar-benarnya memiliki komitmen dengan yang tidak. Apabila leaders berkeinginan untuk membuat perubahan pada hidup seseorang, mereka harus menunjukkan komitmen kepada orang lain.
Menurut Michelman (2004) dalam Yoder-Wise dan Kowalski (2006), leaders dapat bertanya pada dirinya sendiri untuk mengeksplorasi komitmen dan rasa bahagia dalam dirinya. Diantaranya yaitu: apakah seorang leader bekerja karena upah yang tinggi, karena status, atau karena pekerjaan memberikan mereka perasaan mengendalikan? Apakah ia benar-benar peduli terhadap perawat-perawat? Apakah ia berkeinginan untuk menumbuhkembangkan kemampuan perawat agar dapat memberikan pelayanan berkualitas seperti yang akan dilakukannya seandainya ia adalah seorang perawat pelaksana? Apakah seorang leader memahami kenapa ia terpilih untuk menempati posisi pimpinan?
Seorang leader perlu untuk mengevaluasi dan mengenali diri sehingga tidak berujung kepada kegagalan proses leadership. Menurut Michelman (2004) dalam Yoder-Wise dan Kowalski (2006), banyak orang yang ingin menjadi CEO, tetapi tidak mau melaksanakan tugas dan tanggung jawab seorang CEO. Begitu juga di dalam konteks keperawatan, banyak leader yang ingin menjadi seorang CNO, tetapi tidak ingin melaksanakan tugas dan tanggung jawab seorang CNO.
Daftar Pustaka
Direktorat Jenderal Pajak. (2010). Visi dan Misi Direktorat Jenderal Pajak. Diakses pada http://www.pajak.go.id/index.php?option=com_content &view=article&id=92&Itemid=116 pada tanggal 30 Maret 2010 pukul 19.30.
Indosdm. (2008). Kamus Kompetensi: Komitmen Organisasi (Organizational Commitment). Diakses pada http://indosdm.com/kamus-kompetensi-komitmen-organisasi-organization-commitment pada tanggal 25 Maret 2010 pukul 18.30.
Karina. (2009). Komitmen Organisasi. Diakses pada http://rumahbelajarpsikologi. com/index.php/komitmen-organisasi.html pada tanggal 25 Maret 2010 pukul 18.30
Salimah, Siti. (2009). Membangun Komitmen Organisasi. Diakses pada http://indosdm.com/komponen-komponen-komitmen-dalam-organisasi pada tanggal 25 Maret 2010 pukul 18.30.
Surya Online. (2010). Kronologi Kasus Gayus Versi Kejaksaan. Diakses pada http://www.surya.co.id/2010/03/22/kronologi-kasus-gayus-versi-kejaksaan. html pada tanggal 25 Maret 2010 pada pukul 18.30.
Wikipedia. (2009). Komitmen organisasi. Diakses pada http://id. wikipedia.org /wiki/Komitmen_organisasi pada tanggal 25 Maret 2010 pukul 18.30.
Yoder-Wise, P.S. & Kowalski, K.E. (2006). Beyond Leading and Managing: Nursing Administration for the Future. St.Louis : Mosby Elsevier Inc.
Tipe Kepemimpinan
Tipe Kepemimpinan
by udin
Dalam setiap realitasnya bahwa pemimpin dalam melaksanakan proses kepemimpinannya terjadi adanya suatu permbedaan antara pemimpin yang satu dengan yang lainnya, hal sebagaimana menurut G. R. Terry yang dikutif Maman Ukas, bahwa pendapatnya membagi tipe-tipe kepemimpinan menjadi 6, yaitu :
1. Tipe kepemimpinan pribadi (personal leadership). Dalam system kepemimpinan ini, segala sesuatu tindakan itu dilakukan dengan mengadakan kontak pribadi. Petunjuk itu dilakukan secara lisan atau langsung dilakukan secara pribadi oleh pemimpin yang bersangkutan.
2. Tipe kepemimpinan non pribadi (non personal leadership). Segala sesuatu kebijaksanaan yang dilaksanakan melalui bawahan-bawahan atau media non pribadi baik rencana atau perintah juga pengawasan.
3. Tipe kepemimpinan otoriter (autoritotian leadership). Pemimpin otoriter biasanya bekerja keras, sungguh-sungguh, teliti dan tertib. Ia bekerja menurut peraturan-peraturan yang berlaku secara ketat dan instruksi-instruksinya harus ditaati.
4. Tipe kepemimpinan demokratis (democratis leadership). Pemimpin yang demokratis menganggap dirinya sebagai bagian dari kelompoknya dan bersama-sama dengan kelompoknya berusaha bertanggung jawab tentang terlaksananya tujuan bersama. Agar setiap anggota turut bertanggung jawab, maka seluruh anggota ikut serta dalam segala kegiatan, perencanaan, penyelenggaraan, pengawasan, dan penilaian. Setiap anggota dianggap sebagai potensi yang berharga dalam usahan pencapaian tujuan.
5. Tipe kepemimpinan paternalistis (paternalistis leadership). Kepemimpinan ini dicirikan oleh suatu pengaruh yang bersifat kebapakan dalam hubungan pemimpin dan kelompok. Tujuannya adalah untuk melindungi dan untuk memberikan arah seperti halnya seorang bapak kepada anaknya.
6. Tipe kepemimpinan menurut bakat (indogenious leadership). Biasanya timbul dari kelompok orang-orang yang informal di mana mungkin mereka berlatih dengan adanya system kompetisi, sehingga bisa menimbulkan klik-klik dari kelompok yang bersangkutan dan biasanya akan muncul pemimpin yang mempunyai kelemahan di antara yang ada dalam kelempok tersebut menurut bidang keahliannya di mana ia ikur berkecimpung (Sulaiman dan sunaryo, 1983).
Selanjutnya menurut Kurt Lewin yang dikutif oleh Maman Ukas mengemukakan tipe-tipe kepemimpinan menjadi tiga bagian, yaitu :
1. Otokratis, pemimpin yang demikian bekerja kerang, sungguh-sungguh, teliti dan tertib. Ia bekerja menurut peraturan yang berlaku dengan ketat dan instruksi-instruksinya harus ditaati.
2. Demokratis, pemimpin yang demokratis menganggap dirinya sebagai bagian dari kelompoknya dan bersama-sama dengan kelompoknya berusaha bertanggung jawab tentang pelaksanaan tujuannya. Agar setiap anggota turut serta dalam setiap kegiatan-kegiatan, perencanaan, penyelenggaraan, pengawasan dan penilaian. Setiap anggota dianggap sebagai potensi yang berharga dalam usaha pencapaian tujuan yang diinginkan.
3. Laissezfaire, pemimpin yang bertipe demikian, segera setelah tujuan diterangkan pada bawahannya, untuk menyerahkan sepenuhnya pada para bawahannya untuk menyelesaikan pekerjaan-pekerjaan yang menjadi tanggung jawabnya. Ia hanya akan menerima laporan-laporan hasilnya dengan tidak terlampau turut campur tangan atau tidak terlalu mau ambil inisiatif, semua pekerjaan itu tergantung pada inisiatif dan prakarsa dari para bawahannya, sehingga dengan demikian dianggap cukup dapat memberikan kesempatan pada para bawahannya bekerja bebas tanpa kekangan (Bertha,
1983).
Kartini, Kartono. Pemimpin dan Kepemimpinan.Cetakan 8. 1998.Grafindo Persada : Jakarta
Yukl, (1998). Leadership In Organization, 5th ed. New York: Pearson Prentice Hall.
Yukl, G. A. (2006). Leadership In Organization, 5th ed. New York: Pearson Prentice Hall.
by udin
Dalam setiap realitasnya bahwa pemimpin dalam melaksanakan proses kepemimpinannya terjadi adanya suatu permbedaan antara pemimpin yang satu dengan yang lainnya, hal sebagaimana menurut G. R. Terry yang dikutif Maman Ukas, bahwa pendapatnya membagi tipe-tipe kepemimpinan menjadi 6, yaitu :
1. Tipe kepemimpinan pribadi (personal leadership). Dalam system kepemimpinan ini, segala sesuatu tindakan itu dilakukan dengan mengadakan kontak pribadi. Petunjuk itu dilakukan secara lisan atau langsung dilakukan secara pribadi oleh pemimpin yang bersangkutan.
2. Tipe kepemimpinan non pribadi (non personal leadership). Segala sesuatu kebijaksanaan yang dilaksanakan melalui bawahan-bawahan atau media non pribadi baik rencana atau perintah juga pengawasan.
3. Tipe kepemimpinan otoriter (autoritotian leadership). Pemimpin otoriter biasanya bekerja keras, sungguh-sungguh, teliti dan tertib. Ia bekerja menurut peraturan-peraturan yang berlaku secara ketat dan instruksi-instruksinya harus ditaati.
4. Tipe kepemimpinan demokratis (democratis leadership). Pemimpin yang demokratis menganggap dirinya sebagai bagian dari kelompoknya dan bersama-sama dengan kelompoknya berusaha bertanggung jawab tentang terlaksananya tujuan bersama. Agar setiap anggota turut bertanggung jawab, maka seluruh anggota ikut serta dalam segala kegiatan, perencanaan, penyelenggaraan, pengawasan, dan penilaian. Setiap anggota dianggap sebagai potensi yang berharga dalam usahan pencapaian tujuan.
5. Tipe kepemimpinan paternalistis (paternalistis leadership). Kepemimpinan ini dicirikan oleh suatu pengaruh yang bersifat kebapakan dalam hubungan pemimpin dan kelompok. Tujuannya adalah untuk melindungi dan untuk memberikan arah seperti halnya seorang bapak kepada anaknya.
6. Tipe kepemimpinan menurut bakat (indogenious leadership). Biasanya timbul dari kelompok orang-orang yang informal di mana mungkin mereka berlatih dengan adanya system kompetisi, sehingga bisa menimbulkan klik-klik dari kelompok yang bersangkutan dan biasanya akan muncul pemimpin yang mempunyai kelemahan di antara yang ada dalam kelempok tersebut menurut bidang keahliannya di mana ia ikur berkecimpung (Sulaiman dan sunaryo, 1983).
Selanjutnya menurut Kurt Lewin yang dikutif oleh Maman Ukas mengemukakan tipe-tipe kepemimpinan menjadi tiga bagian, yaitu :
1. Otokratis, pemimpin yang demikian bekerja kerang, sungguh-sungguh, teliti dan tertib. Ia bekerja menurut peraturan yang berlaku dengan ketat dan instruksi-instruksinya harus ditaati.
2. Demokratis, pemimpin yang demokratis menganggap dirinya sebagai bagian dari kelompoknya dan bersama-sama dengan kelompoknya berusaha bertanggung jawab tentang pelaksanaan tujuannya. Agar setiap anggota turut serta dalam setiap kegiatan-kegiatan, perencanaan, penyelenggaraan, pengawasan dan penilaian. Setiap anggota dianggap sebagai potensi yang berharga dalam usaha pencapaian tujuan yang diinginkan.
3. Laissezfaire, pemimpin yang bertipe demikian, segera setelah tujuan diterangkan pada bawahannya, untuk menyerahkan sepenuhnya pada para bawahannya untuk menyelesaikan pekerjaan-pekerjaan yang menjadi tanggung jawabnya. Ia hanya akan menerima laporan-laporan hasilnya dengan tidak terlampau turut campur tangan atau tidak terlalu mau ambil inisiatif, semua pekerjaan itu tergantung pada inisiatif dan prakarsa dari para bawahannya, sehingga dengan demikian dianggap cukup dapat memberikan kesempatan pada para bawahannya bekerja bebas tanpa kekangan (Bertha,
1983).
Kartini, Kartono. Pemimpin dan Kepemimpinan.Cetakan 8. 1998.Grafindo Persada : Jakarta
Yukl, (1998). Leadership In Organization, 5th ed. New York: Pearson Prentice Hall.
Yukl, G. A. (2006). Leadership In Organization, 5th ed. New York: Pearson Prentice Hall.
sistem Informasi Dalam Manajemen Keperawatan (SIMKEP)
Sistem informasi manajemen keperawatan merupakan paket perangkat lunak yang dikembangkan secara khusus untuk divisi pelayanan keperawatan. Paket perangkat lunak ini mempunyai program-program atau modul-modul yang dapat membentuk berbagai fungsi manajemen keperawatan. Kebanyakan SIMKEP mempunyai modul-modul untuk :
1. Mengklasifikasikan pasien
2. Pambentukan saraf
3. Penjadwalan
4. Catatan personal
5. Laporan bertahap
6. Pengembangan anggaran
7. Alokasi sumber dan pengendalian biaya
8. Analisa kelompok diagnosa yang berhubungan
9. Pengendalian mutu
10. Catatan pengembangan staf
11. Model dan simulasi untuk pengembilan keputusan
12. Rencana strategi
13. Rencana permintaan jangka pendek dan rencana kerja
14. Evolusi program
Modul SIMKEP untuk klasifikasi pasien, pengaturan staf, catatan personal, dan laporan bertahap sering berhubungan. Pasien diklasifikasikan menurut kriterianya. Informasi klasifikasi pasien dihitung berdasarkan formula beban kerja. Juga susunan pegawai yang dibutuhkan dan susunan pegawai yang sebenarnya dapat dibuat.
SIMK dan komputer dapat membuat perawatan pasien lebih efektif dan ekonomis. Perawat-perawat klinis menggunakannya untuk mengatur perawatan pasien, termasuk di dalamnya sejarah pasien, rencana perawatan, pemantauan psikologis dan tidak langsung, catatan kemajuan perawatan dan peta kemajuan. Hal ini dapat dilakukan di semua kantor/ruang perawat.
Perawat-perawat klinis dapat menggunakan SIMKEP untuk mengganti sistem manual pada pencatatan data. Hal ini dapat mengurangi biaya sekaligus memungkinkan peningkatan kualitas dari perawatan. Dengan sistem informasi usia, manajer perawat dapat merencanakan karier untuk mereka sendiri dan perawat klinis mereka. Karier baru di SIMKEP mungkin satu jawaban untuk perawat.
D. Manajemen Asuhan Keperawatan
1. Model dalam Sistem Pemberian Asuhan Keperawatan
1) Metode Kasus
2) Metode Fungsional
3) Metode Perawatan Tim
4) Metode Perawatan Primer
5) Metode Keperawatan Modular
6) Metode Manajemen Kasus
2. Issue-issue dalam Manajemen Asuhan Keperawatan
http://tiarsblog.blogspot.com/2008/07/manajemen-sistim-informasi-rumah-sakit.html
1. Mengklasifikasikan pasien
2. Pambentukan saraf
3. Penjadwalan
4. Catatan personal
5. Laporan bertahap
6. Pengembangan anggaran
7. Alokasi sumber dan pengendalian biaya
8. Analisa kelompok diagnosa yang berhubungan
9. Pengendalian mutu
10. Catatan pengembangan staf
11. Model dan simulasi untuk pengembilan keputusan
12. Rencana strategi
13. Rencana permintaan jangka pendek dan rencana kerja
14. Evolusi program
Modul SIMKEP untuk klasifikasi pasien, pengaturan staf, catatan personal, dan laporan bertahap sering berhubungan. Pasien diklasifikasikan menurut kriterianya. Informasi klasifikasi pasien dihitung berdasarkan formula beban kerja. Juga susunan pegawai yang dibutuhkan dan susunan pegawai yang sebenarnya dapat dibuat.
SIMK dan komputer dapat membuat perawatan pasien lebih efektif dan ekonomis. Perawat-perawat klinis menggunakannya untuk mengatur perawatan pasien, termasuk di dalamnya sejarah pasien, rencana perawatan, pemantauan psikologis dan tidak langsung, catatan kemajuan perawatan dan peta kemajuan. Hal ini dapat dilakukan di semua kantor/ruang perawat.
Perawat-perawat klinis dapat menggunakan SIMKEP untuk mengganti sistem manual pada pencatatan data. Hal ini dapat mengurangi biaya sekaligus memungkinkan peningkatan kualitas dari perawatan. Dengan sistem informasi usia, manajer perawat dapat merencanakan karier untuk mereka sendiri dan perawat klinis mereka. Karier baru di SIMKEP mungkin satu jawaban untuk perawat.
D. Manajemen Asuhan Keperawatan
1. Model dalam Sistem Pemberian Asuhan Keperawatan
1) Metode Kasus
2) Metode Fungsional
3) Metode Perawatan Tim
4) Metode Perawatan Primer
5) Metode Keperawatan Modular
6) Metode Manajemen Kasus
2. Issue-issue dalam Manajemen Asuhan Keperawatan
http://tiarsblog.blogspot.com/2008/07/manajemen-sistim-informasi-rumah-sakit.html
Selasa, 23 Agustus 2011
Proses dan Teknik Pengambilan Keputusan
by udin
Proses dan Teknik Pengambilan Keputusan
1. Berbagai urutan dalam proses pengambilan keputusan.
2. Jenis keputusan yang perlu dipecahkan melalui proses pengambilan keputusan yaitu keputusan yang tidak terprogram.
3. Syarat utama dalam pengambilan keputusan yaitu suatu masalah.
4. Pedoman dalam proses pengambilan keputusan ialah tujuan dan sasaran organisasi.
5. Alternatif yang dievaluasi ialah hasilnya berdasarkan atas 3 (tiga) kondisi, yaitu: Kepastian (certainty), risiko (risk) dan uncertainty (tidak berketentuan).
6. Terdapat beberapa perilaku individual dalam proses pengambilan keputusan, yaitu: Nilai, Kepribadian, Kecenderungan mengambil risiko, dan kemungkinan ketidakcocokan.
7. Pengambilan keputusan kelompok, dan perbedaan keputusan individual dan kelompok.
8. Teknik-teknik dalam pengambilan keputusan, yaitu: sumbang saran (brainstorming), Delphi
dan Teknik Kelompok Nominal (The Nominal Group Techniques).
Proses dan Teknik Pengambilan Keputusan
1. Berbagai urutan dalam proses pengambilan keputusan.
2. Jenis keputusan yang perlu dipecahkan melalui proses pengambilan keputusan yaitu keputusan yang tidak terprogram.
3. Syarat utama dalam pengambilan keputusan yaitu suatu masalah.
4. Pedoman dalam proses pengambilan keputusan ialah tujuan dan sasaran organisasi.
5. Alternatif yang dievaluasi ialah hasilnya berdasarkan atas 3 (tiga) kondisi, yaitu: Kepastian (certainty), risiko (risk) dan uncertainty (tidak berketentuan).
6. Terdapat beberapa perilaku individual dalam proses pengambilan keputusan, yaitu: Nilai, Kepribadian, Kecenderungan mengambil risiko, dan kemungkinan ketidakcocokan.
7. Pengambilan keputusan kelompok, dan perbedaan keputusan individual dan kelompok.
8. Teknik-teknik dalam pengambilan keputusan, yaitu: sumbang saran (brainstorming), Delphi
dan Teknik Kelompok Nominal (The Nominal Group Techniques).
Minggu, 21 Agustus 2011
FRAMEWORK PERENCANAAN TENAGA KEPERAWATAN
FRAMEWORK PERENCANAAN TENAGA KEPERAWATAN
by udin
A. Kebijakan Dan Perencanaan
Keterlibatan perawat dalam perumusan kebijakan dan perencanaan program
• Semua kebijakan kesehatan dan program mempengaruhi perawat
• Perawat secara langsung dipengaruhi oleh perubahan pada kebijakan kesehatan
• Keterlibatan perawat membantu percepatan perkembangan profesi keperawatan, termasuk kapasitas dalam bekerjasama secara konstruktif dalam sistem kesehatan
Rencana strategik keperawatan (dokumen kebijakan) sebagai bagian integral dari sistem pengembangan pelayanan kesehatan.
• Memberikan arah yang jelas untuk perkembangan SDM Keperawatan dengan pendekatan terstruktur dan POA yang spesifik serta kerjasama lintas sektor, lintas profesi dsb
• Mekanisme utama untuk pengembangan keperawatan pada suatu negara melalui pembentukan focal point (Direktorat Keperawatan), Badan Regulatori/Konsil
• Keterpaduan upaya pengembangan SDM (keterpaduan perencanaan SDM dengan pelayanan, perencanaan untuk SDM terintegrasi misal tim multidisiplin, keterpaduan proses perencanaan lintas disiplin, wilayah dan sektor)
Rencana dan kebijakan terkait dengan sumber dan finansial
• Meningkatkan efisiensi sumber dan cost containtment
• SDM merupakan investment
• Pengembalian investment memerlukan penanaman/ penggunaan finansial awal yang memadai
B. Pendidikan, Pelatihan dan Pengembangan
• Koordinasi antara pendidikan dan pelayanan
• Rekruitmen calon mahasiswa keperawatan
Rekruitmen calon mahasiswa keperawatan tidak hanya kuantitasnya saja, tetapi kualitas calon mahasiswa keperawatan juga sangat penting. Perekruitan sering pada orang-orang yang mempunyai bakat pada keperawatan/kebidanan yang menjadi meningkatnya kepentingan dan tidak hanya pada satu fokus saja. Strategi harus dikembangkan pada calon mahasiswa yang tidak mampu dari golongan sosial ekonomi rendah, yang mempunyai kualitas yang potensial sebagai perawat dan bidan (WHO, 2003).
• Pendidikan berdasarkan kompetensi
Burns menyatakan bahwa pendidikan berbasis kompetensi menguraikan perilaku nyata yang dituntut melalui peserta didik. Perilaku nyata ini sering disebut Obyektif Perilaku Terminal (OPT). Burns juga menyatakan bahwa objektif perilaku terminal adalah pernyataan secara jelas dan tertulis yang ekspresikan dari pandangan peserta didik yang menggambarkan perilaku nyata (dan kondisi dimana perilaku akan dijalankan) peserta didik yaitu untuk menunjukkan pada kahir periode instruksi. Obyektif perilaku terminal adalah pandangan ringkas, khusus yang diekspresikan dari pandangan peserta didik dan gambaran perilaku (Swansburg RC, 2001).
Obyektif perilaku terminal memerlukan tes kriteria referensi yang mengukur pemenuhan obyektif program. meskipun obyektif bukan jawaban untuk semua gambaran pendidikan, waktu yang digunakan dalam pengembangan OPT adalah bermanfaat (Swansburg RC, 2001).
Tiga elemen penting tentang obyektif kriteria yang berpusat pada peserta didik (Swansburg RC, 2001):
1. Kondisi: suatu deskripsi tenang pengujian lingkunngan yang mencakup masalah, materi dan bahan yang akan diberikan atau secara khusus ditiadakan dari pengukuran.
2. Kinerja: Perilaku peserta didik yang dapat diamati (atau produk dari perilaku tersebut) yang dapat diteima untuk instruktor sebagai bukti bahwa pembelajaran telah terjadi.
3. Standar: kriteria kualitatif dan kuantitatif terhadap kinerja peserta didik atau produk dimana kinerja akan diukur untuk menentukan keberhasilan pembelajaran.
Terdapat hirarkis tentang obyektif seperti didefinisikan dalam tiga taksonomi obyektif pendidikan yaitu kognitif, afektif dan psikomotor. Pada domain kognitif, hirarkis mencakup perilaku obyektif yang sesuai dengan ingatan atau pengenalan tentang pengetahuan dan pengembangan kemampuan dan ketrampilan intelektual. Domain afektif mempunyai obyektif yang menekankan perasaan dan emosi, seperti nilai, minat, apresiasi dan sikap. Domain psikomotor mempunyai obyektif yang menekankan ketrampilan motorik seperti melakukan, mempraktikkan dan mendemonstrasikan (Swansburg RC, 2001).
Karakteristik lain tentang obyektif adalah sebagai berikut (Swansburg RC, 2001):
a) Karakteristik dapat langsung diukur, dinilai atau diverifikasi.
b) Karakteristik adalah analitis dan tidak terbatas pada perilaku kognitif tingkat rendah.
c) Karakteristik dengan jelas dan secara singkat dinyatakan. Karakteristik menyatakan kondisi dimana peserta didik akan melakukan tugasnya.
d) Karakteristik adalah realistis dalam istilah manusia dan sumber daya fisik serta kemampuan.
e) Karakteristik mengarahkan penggunaan sumber daya melalui aktifitas instruksional.
f) Karakteristik dapat diterima atau praktis.
g) Karakteristik adalah komprehensif.
h) Karakteristik menunjukkan hasil yang diharapkan dari upaya pendidikan dan aktivitas akhir dari kinerja pendidikan.
i) Karakteristik menyatakan tingkat kinerja yang dapat diterima.
j) Karakteristik menunjukkan jaringan kerja peristiwa dan hasil yang diinginkan.
k) Kaakteristik fleksibel dan memungkinkan penyesuaian oleh peserta didik.
l) Karakteristik diketahui peserta didik yang akan menggunakannya.
m) Karakteristik berhubungan dengan kehidupan nyata.
n) Karakteristik ada untuk semua program pendidikan.
• Pembelajaran multidisiplin
• Budaya belajar sepanjang hayat
• Sistem pendidikan berkelanjutan
Pendidikan berkelanjutan adalah gagasan dimana pendidikan berlanjut setelah pendidikan profesional pra pelayanan. Pengetahuan dan teknologi tahap lanjut pada skala kontinu dan menuntut orang tersebut dalam melanjutkan profesi untuk mengembangkan pengetahuan dan ketrampilan yang berhubungan dengan teknologi tahap lanjut. Dalam keperawatan teknologi ini dihubungkan dengan perawatan pasien. Perawat profesional harus melanjutkan pendidikan dengan sasaran menjadi mampu memberikan asuhan keperawatan efektif yang paling baru (Swansburg RC, 2001).
Pendidikan berkelanjutan didefinisikan oleh ANA adalah aktivitas pendidikan yang direncanakan bertujuan untuk membangun dasar pendidikan dan pengalaman dari perawat profesional untuk meningkatkan praktik, pendidikan, adminsitrasi, penelitian atau pengambangan teori sampai akhirnya perbaikan kesehatan masyarakat (Swansburg RC, 2001).
C. Penempatan Dan Utilisasi
• Keterampilan dan kompetensi komplementer
• Infrastruktur keperawatan yang relevan
• Manajemen dan kepemimpinan yang efektif
• Kondisi kerja yang memadai dan pekerjaan yang terorganisasi secara efisien
• Sistem supervisi teknis
• Kesempatan pengembangan karir
Pengembangan staf sedang bergerak naik dari orientasi tipikal dan pendidikan dalam pelayanan, yang menekankan pendidikan berkelanjutan pada tingkat yang lebih tinggi dan menguasai perkembangan karir. Bila pengembangan staf untuk mendapatkan kinerja terbaik dari setiap orang, eksekutif kepala dan kepala departemen harus mengakui bahwa setiap karyawan mempunyai sasaran karir dan impian-impian. Suatu tekanan organisasi harus disusun yang menekankan stabilitas, sensitivitas dan perhatian pada pertumbuhan dan perkembangan setiap karyawan (Swansburg RC, 2001).
Pengembangan staf diselesaikan dengan cara yang lebih terfragmentasi oleh kebanyakan manajer pendidikan dan administratif. Departemen tertentu sering mengontrol kebijakan dan pembayaran biaya perkuliahan, jenjang karir sering dikelola oelh administrasi keperawatan dengan beberapa bantuan dari pendidikan (Swansburg RC, 2001).
Sistem keseluruhan untuk pengembangan staf dapat direncanakan dan diprogramkan, dengan staf yang ada sebagai masukan, pengembangan karir dalam berbagai dimensi sebagai proses pemindahan, dan tingkat pencapaian yang diharapkan sebagai keluaran. Interaksi dengan lingkungan praktik akan terus berlanjut. Perubahan dan umpan balik evaluatif dapat memasukkan kembali sistem pada titik manapun (Swansburg RC, 2001).
Sovie telah menggambarkan peran pengembangan staf dalam mengembangkan karir keperawatan profesional di rumah sakit. Ia mengembangkan model untuk perawat profesional yang dapat dengan mudah diadaptasi untuk penggunaan dalam sistem yang direncanakan atau sistem yang ada. Tiga fase dalam pengembangan perawat adalah sbb (Swansburg RC, 2001):
1) Identifikasi profesional, dimana individu terorientasi pada karir.
2) Maturasi profesional, dimana potensial terhadap perkembangan dan perluasan kompetensi dikenali.
3) Penguasaan profesional, dimana potensial terhadap aktualisasi diri dicapai.
• Sistem insentif
Sistem insentif ekonomi tertentu dapat diterapkan pada hampir semua pekerjaan apapun. Gagasan pokoknya adalah meragamkan bayaran pegawai sesuai dengan kriteria prestasi individu, kelompok atau organisasi (David K & Newstrom JW, 1985).
Insentif yang berhasil dapat menimbulkan imbalan psikologis dan juga imbalan ekonomi. Ada perasaan puas yang timbul dari penyelesaian pekerjaan yang dilakukan dengan baik. Citra diri mungkin meningkat karena perasaan kompeten.
Kelemahan insentif upah adalah sebagai berikut (David K & Newstrom JW, 1985):
a) Insentif upah biasanya mensyaratkan penetapan standar prestasi.
b) Insentif upah dapat memperumit pekerjaan para penyelia.
c) Masalah yang sulit dengan insentif upah adalah goyahnya harkat.
d) Insentif upah dapat menimbulkan ketidakharmonisan antara karyawan insentif dengan karyawan jam-jaman.
• Kepuasan kerja
Faktor yang mempengaruhi penampilan dan kepuasan kerja adalah (Nursalam, 2002) :
1) Motivasi
Menurut Rowlan & Rowland dalam Nursalam (2002) fungsi manajer dalam meningkatkan kepuasan kerja staf didasarkan pada faktor-faktor motivasi, yang meliputi:
- Keinginan untuk peningkatan.
- Percaya bahwa gaji yang didapatkan sudah mencukupi.
- Memiliki kemampuan pengetahuan, ketrampilan dan nilai-nilai yang diperlukan.
- Umpan balik
- Kesempatan untuk mencoba.
- Instrumen penampilan untuk promosi, kerjasama dan peningkatan penghasilan.
2) Lingkungan
Faktor lingkungan juga memegang peranan penting dalam motivasi. Faktor lingkungan tersebut dapat meliputi:
a) Komunikasi
- Penghargaan terhadap usaha yang telah dilaksanakan.
- Pengetahuan tentang kegiatan organisasi
- Rasa pecaya diri berhubungan dengan manajemen organisasi
b) Potensial pertumbuhan
- Kesempatan untuk berkembang, karir dan promosi
- Dukungan untuk tumbuh dan berkembang: pelatihan, beasiswa untuk melanjutkan pendidikan, pelatihan manajemen bagi staf yang dipromosikan.
c) Kebijaksanaan individu
- Mengakomodasi kebutuhan individu: jadwal kerja, liburan dan cuti sakit serta pembiayaannya.
- Keamanan pekerjaan
- Loyalitas organisasi terhadap staf
- Menghargai staf: agama, latar belakang
- Adil dan konsisten terhadap eputusan organisasi.
d) Upah/gaji
- Gaji yang cukup untuk kebutuhan hidup.
e) Kondisi kerja yang kondusif
3) Peran manajer
Ada dua belas kunci utama dalam kepuasan menurut Rowland & Rowland (Nursalam, 2002) :
a) Input
b) Hubungan manajer dan staf
c) Disiplin kerja
d) Lingkungan tempat kerja
e) Istirahat dan makan yang cukup
f) Diskriminasi
g) Kepuasan kerja
h) Penghargaan penampilan
i) Klarifikasi kebijaksanaan, prosedur dan keuntungan
j) Mendapatkan kesempatan
k) Pengambilan keputusan
l) Gaya manajer.
DAFTAR PUSTAKA
Swansburg, RC. 2001. Pengembangan staf keperawatan: suatu komponen pengembangan SDM. Alih bahasa Agung Waluyo, Yasmin Asih. Edisi 1. EGC: Jakarta.
Nursalam. 2002. Manajemen keperawatan: aplikasi dalam praktik keperawatan profesional. Edisi 1. Salemba Medika: Jakarta.
Davis K & Newstrom JW. 1985. Perilaku dalam organisasi. Jilid 1. Edisi 7. Alih bahasa Agus Dharma. Penerbit Erlangga: Jakarta.
WHO. 2003. Nursing and midwifery workforce management: conceptual and framework. WHO Regional office for south east asia: India
by udin
A. Kebijakan Dan Perencanaan
Keterlibatan perawat dalam perumusan kebijakan dan perencanaan program
• Semua kebijakan kesehatan dan program mempengaruhi perawat
• Perawat secara langsung dipengaruhi oleh perubahan pada kebijakan kesehatan
• Keterlibatan perawat membantu percepatan perkembangan profesi keperawatan, termasuk kapasitas dalam bekerjasama secara konstruktif dalam sistem kesehatan
Rencana strategik keperawatan (dokumen kebijakan) sebagai bagian integral dari sistem pengembangan pelayanan kesehatan.
• Memberikan arah yang jelas untuk perkembangan SDM Keperawatan dengan pendekatan terstruktur dan POA yang spesifik serta kerjasama lintas sektor, lintas profesi dsb
• Mekanisme utama untuk pengembangan keperawatan pada suatu negara melalui pembentukan focal point (Direktorat Keperawatan), Badan Regulatori/Konsil
• Keterpaduan upaya pengembangan SDM (keterpaduan perencanaan SDM dengan pelayanan, perencanaan untuk SDM terintegrasi misal tim multidisiplin, keterpaduan proses perencanaan lintas disiplin, wilayah dan sektor)
Rencana dan kebijakan terkait dengan sumber dan finansial
• Meningkatkan efisiensi sumber dan cost containtment
• SDM merupakan investment
• Pengembalian investment memerlukan penanaman/ penggunaan finansial awal yang memadai
B. Pendidikan, Pelatihan dan Pengembangan
• Koordinasi antara pendidikan dan pelayanan
• Rekruitmen calon mahasiswa keperawatan
Rekruitmen calon mahasiswa keperawatan tidak hanya kuantitasnya saja, tetapi kualitas calon mahasiswa keperawatan juga sangat penting. Perekruitan sering pada orang-orang yang mempunyai bakat pada keperawatan/kebidanan yang menjadi meningkatnya kepentingan dan tidak hanya pada satu fokus saja. Strategi harus dikembangkan pada calon mahasiswa yang tidak mampu dari golongan sosial ekonomi rendah, yang mempunyai kualitas yang potensial sebagai perawat dan bidan (WHO, 2003).
• Pendidikan berdasarkan kompetensi
Burns menyatakan bahwa pendidikan berbasis kompetensi menguraikan perilaku nyata yang dituntut melalui peserta didik. Perilaku nyata ini sering disebut Obyektif Perilaku Terminal (OPT). Burns juga menyatakan bahwa objektif perilaku terminal adalah pernyataan secara jelas dan tertulis yang ekspresikan dari pandangan peserta didik yang menggambarkan perilaku nyata (dan kondisi dimana perilaku akan dijalankan) peserta didik yaitu untuk menunjukkan pada kahir periode instruksi. Obyektif perilaku terminal adalah pandangan ringkas, khusus yang diekspresikan dari pandangan peserta didik dan gambaran perilaku (Swansburg RC, 2001).
Obyektif perilaku terminal memerlukan tes kriteria referensi yang mengukur pemenuhan obyektif program. meskipun obyektif bukan jawaban untuk semua gambaran pendidikan, waktu yang digunakan dalam pengembangan OPT adalah bermanfaat (Swansburg RC, 2001).
Tiga elemen penting tentang obyektif kriteria yang berpusat pada peserta didik (Swansburg RC, 2001):
1. Kondisi: suatu deskripsi tenang pengujian lingkunngan yang mencakup masalah, materi dan bahan yang akan diberikan atau secara khusus ditiadakan dari pengukuran.
2. Kinerja: Perilaku peserta didik yang dapat diamati (atau produk dari perilaku tersebut) yang dapat diteima untuk instruktor sebagai bukti bahwa pembelajaran telah terjadi.
3. Standar: kriteria kualitatif dan kuantitatif terhadap kinerja peserta didik atau produk dimana kinerja akan diukur untuk menentukan keberhasilan pembelajaran.
Terdapat hirarkis tentang obyektif seperti didefinisikan dalam tiga taksonomi obyektif pendidikan yaitu kognitif, afektif dan psikomotor. Pada domain kognitif, hirarkis mencakup perilaku obyektif yang sesuai dengan ingatan atau pengenalan tentang pengetahuan dan pengembangan kemampuan dan ketrampilan intelektual. Domain afektif mempunyai obyektif yang menekankan perasaan dan emosi, seperti nilai, minat, apresiasi dan sikap. Domain psikomotor mempunyai obyektif yang menekankan ketrampilan motorik seperti melakukan, mempraktikkan dan mendemonstrasikan (Swansburg RC, 2001).
Karakteristik lain tentang obyektif adalah sebagai berikut (Swansburg RC, 2001):
a) Karakteristik dapat langsung diukur, dinilai atau diverifikasi.
b) Karakteristik adalah analitis dan tidak terbatas pada perilaku kognitif tingkat rendah.
c) Karakteristik dengan jelas dan secara singkat dinyatakan. Karakteristik menyatakan kondisi dimana peserta didik akan melakukan tugasnya.
d) Karakteristik adalah realistis dalam istilah manusia dan sumber daya fisik serta kemampuan.
e) Karakteristik mengarahkan penggunaan sumber daya melalui aktifitas instruksional.
f) Karakteristik dapat diterima atau praktis.
g) Karakteristik adalah komprehensif.
h) Karakteristik menunjukkan hasil yang diharapkan dari upaya pendidikan dan aktivitas akhir dari kinerja pendidikan.
i) Karakteristik menyatakan tingkat kinerja yang dapat diterima.
j) Karakteristik menunjukkan jaringan kerja peristiwa dan hasil yang diinginkan.
k) Kaakteristik fleksibel dan memungkinkan penyesuaian oleh peserta didik.
l) Karakteristik diketahui peserta didik yang akan menggunakannya.
m) Karakteristik berhubungan dengan kehidupan nyata.
n) Karakteristik ada untuk semua program pendidikan.
• Pembelajaran multidisiplin
• Budaya belajar sepanjang hayat
• Sistem pendidikan berkelanjutan
Pendidikan berkelanjutan adalah gagasan dimana pendidikan berlanjut setelah pendidikan profesional pra pelayanan. Pengetahuan dan teknologi tahap lanjut pada skala kontinu dan menuntut orang tersebut dalam melanjutkan profesi untuk mengembangkan pengetahuan dan ketrampilan yang berhubungan dengan teknologi tahap lanjut. Dalam keperawatan teknologi ini dihubungkan dengan perawatan pasien. Perawat profesional harus melanjutkan pendidikan dengan sasaran menjadi mampu memberikan asuhan keperawatan efektif yang paling baru (Swansburg RC, 2001).
Pendidikan berkelanjutan didefinisikan oleh ANA adalah aktivitas pendidikan yang direncanakan bertujuan untuk membangun dasar pendidikan dan pengalaman dari perawat profesional untuk meningkatkan praktik, pendidikan, adminsitrasi, penelitian atau pengambangan teori sampai akhirnya perbaikan kesehatan masyarakat (Swansburg RC, 2001).
C. Penempatan Dan Utilisasi
• Keterampilan dan kompetensi komplementer
• Infrastruktur keperawatan yang relevan
• Manajemen dan kepemimpinan yang efektif
• Kondisi kerja yang memadai dan pekerjaan yang terorganisasi secara efisien
• Sistem supervisi teknis
• Kesempatan pengembangan karir
Pengembangan staf sedang bergerak naik dari orientasi tipikal dan pendidikan dalam pelayanan, yang menekankan pendidikan berkelanjutan pada tingkat yang lebih tinggi dan menguasai perkembangan karir. Bila pengembangan staf untuk mendapatkan kinerja terbaik dari setiap orang, eksekutif kepala dan kepala departemen harus mengakui bahwa setiap karyawan mempunyai sasaran karir dan impian-impian. Suatu tekanan organisasi harus disusun yang menekankan stabilitas, sensitivitas dan perhatian pada pertumbuhan dan perkembangan setiap karyawan (Swansburg RC, 2001).
Pengembangan staf diselesaikan dengan cara yang lebih terfragmentasi oleh kebanyakan manajer pendidikan dan administratif. Departemen tertentu sering mengontrol kebijakan dan pembayaran biaya perkuliahan, jenjang karir sering dikelola oelh administrasi keperawatan dengan beberapa bantuan dari pendidikan (Swansburg RC, 2001).
Sistem keseluruhan untuk pengembangan staf dapat direncanakan dan diprogramkan, dengan staf yang ada sebagai masukan, pengembangan karir dalam berbagai dimensi sebagai proses pemindahan, dan tingkat pencapaian yang diharapkan sebagai keluaran. Interaksi dengan lingkungan praktik akan terus berlanjut. Perubahan dan umpan balik evaluatif dapat memasukkan kembali sistem pada titik manapun (Swansburg RC, 2001).
Sovie telah menggambarkan peran pengembangan staf dalam mengembangkan karir keperawatan profesional di rumah sakit. Ia mengembangkan model untuk perawat profesional yang dapat dengan mudah diadaptasi untuk penggunaan dalam sistem yang direncanakan atau sistem yang ada. Tiga fase dalam pengembangan perawat adalah sbb (Swansburg RC, 2001):
1) Identifikasi profesional, dimana individu terorientasi pada karir.
2) Maturasi profesional, dimana potensial terhadap perkembangan dan perluasan kompetensi dikenali.
3) Penguasaan profesional, dimana potensial terhadap aktualisasi diri dicapai.
• Sistem insentif
Sistem insentif ekonomi tertentu dapat diterapkan pada hampir semua pekerjaan apapun. Gagasan pokoknya adalah meragamkan bayaran pegawai sesuai dengan kriteria prestasi individu, kelompok atau organisasi (David K & Newstrom JW, 1985).
Insentif yang berhasil dapat menimbulkan imbalan psikologis dan juga imbalan ekonomi. Ada perasaan puas yang timbul dari penyelesaian pekerjaan yang dilakukan dengan baik. Citra diri mungkin meningkat karena perasaan kompeten.
Kelemahan insentif upah adalah sebagai berikut (David K & Newstrom JW, 1985):
a) Insentif upah biasanya mensyaratkan penetapan standar prestasi.
b) Insentif upah dapat memperumit pekerjaan para penyelia.
c) Masalah yang sulit dengan insentif upah adalah goyahnya harkat.
d) Insentif upah dapat menimbulkan ketidakharmonisan antara karyawan insentif dengan karyawan jam-jaman.
• Kepuasan kerja
Faktor yang mempengaruhi penampilan dan kepuasan kerja adalah (Nursalam, 2002) :
1) Motivasi
Menurut Rowlan & Rowland dalam Nursalam (2002) fungsi manajer dalam meningkatkan kepuasan kerja staf didasarkan pada faktor-faktor motivasi, yang meliputi:
- Keinginan untuk peningkatan.
- Percaya bahwa gaji yang didapatkan sudah mencukupi.
- Memiliki kemampuan pengetahuan, ketrampilan dan nilai-nilai yang diperlukan.
- Umpan balik
- Kesempatan untuk mencoba.
- Instrumen penampilan untuk promosi, kerjasama dan peningkatan penghasilan.
2) Lingkungan
Faktor lingkungan juga memegang peranan penting dalam motivasi. Faktor lingkungan tersebut dapat meliputi:
a) Komunikasi
- Penghargaan terhadap usaha yang telah dilaksanakan.
- Pengetahuan tentang kegiatan organisasi
- Rasa pecaya diri berhubungan dengan manajemen organisasi
b) Potensial pertumbuhan
- Kesempatan untuk berkembang, karir dan promosi
- Dukungan untuk tumbuh dan berkembang: pelatihan, beasiswa untuk melanjutkan pendidikan, pelatihan manajemen bagi staf yang dipromosikan.
c) Kebijaksanaan individu
- Mengakomodasi kebutuhan individu: jadwal kerja, liburan dan cuti sakit serta pembiayaannya.
- Keamanan pekerjaan
- Loyalitas organisasi terhadap staf
- Menghargai staf: agama, latar belakang
- Adil dan konsisten terhadap eputusan organisasi.
d) Upah/gaji
- Gaji yang cukup untuk kebutuhan hidup.
e) Kondisi kerja yang kondusif
3) Peran manajer
Ada dua belas kunci utama dalam kepuasan menurut Rowland & Rowland (Nursalam, 2002) :
a) Input
b) Hubungan manajer dan staf
c) Disiplin kerja
d) Lingkungan tempat kerja
e) Istirahat dan makan yang cukup
f) Diskriminasi
g) Kepuasan kerja
h) Penghargaan penampilan
i) Klarifikasi kebijaksanaan, prosedur dan keuntungan
j) Mendapatkan kesempatan
k) Pengambilan keputusan
l) Gaya manajer.
DAFTAR PUSTAKA
Swansburg, RC. 2001. Pengembangan staf keperawatan: suatu komponen pengembangan SDM. Alih bahasa Agung Waluyo, Yasmin Asih. Edisi 1. EGC: Jakarta.
Nursalam. 2002. Manajemen keperawatan: aplikasi dalam praktik keperawatan profesional. Edisi 1. Salemba Medika: Jakarta.
Davis K & Newstrom JW. 1985. Perilaku dalam organisasi. Jilid 1. Edisi 7. Alih bahasa Agus Dharma. Penerbit Erlangga: Jakarta.
WHO. 2003. Nursing and midwifery workforce management: conceptual and framework. WHO Regional office for south east asia: India
PERENCANAAN DI RUANG MPKP
by udin
A. Pendahuluan
Perencanaan adalah keseluruhan proses pemikiran dan penentuan secara matang hal-hal yang akan dikerjakan di masa mendatang dalam rangka pencapaian tujuan yang telah ditetapkan (Siagian, 1990). Perencanaan dapat juga diartikan sebagai suatu rencana kegiatan tentang apa yang harus dilakukan, bagaimana kegiatan itu dilaksanakan, dimana kegiatan itu dilakukan. Sehingga perencanaan yang matang akan memberi petunjuk dan mempermudah dalam melaksanakan suatu kegiatan. Dalam suatu organisasi perencanaan merupakan pola pikir yang dapat menentukan keberhasilan suatu kegiatan dan titik tolak dari kegiatan pelaksanaan kegiatan selanjutnya.
Kegiatan perencanaan dalam praktek keperawatan profesional merupakan upaya meningkatkan profesionalisme dalam pelayanan keperawatan sehingga mutu pelayanan bukan saja dapat dipertahankan tapi bisa terus meningkat sampai tercapai derajat kepuasan tertinggi bagi penerima jasa pelayanan keperawatan dan pelaksana pelayanan itu sendiri. Dengan demikian sangat dibutuhkan perencanaan yang profesional juga.
Jenis-jenis perencanaan terdiri dari rencana jangka panjang, rencana jangka menengah dan rencana jangka pendek. Perencanaan jangka panjang disebut juga perencanaan strategis yang disusun untuk 3 sampai 10 tahun. Perencanaan jangka menengah dibuat dan berlaku 1 sampai 5 tahun. Sedangkan perencanaan jangka pendek dibuat satu jam sampai dengan satu tahun. Hirarki dalam perencanaan terdiri dari perumusan visi, misi, filosofi, peraturan, kebijakan, dan prosedur (Marquis & Houston, 1998).
Kegiatan perencanaan yang dipakai di ruang MPKP meliputi perumusan visi, misi, filosofi dan kebijakan. Sedangkan untuk jenis perencanaan yang diterapkan adalah perencanaan jangka pendek yang meliputi rencana kegiatan harian, bulanan dan tahunan.
B. Tujuan
Setelah mengikuti pelatihan MPKP diharapkan perawat mampu:
1. Merumuskan visi ruang MPKP
2. Merumuskan misi ruang MPKP
3. Merumuskan filosofi ruang MPKP
4. Memahami kebijakan ruang MPKP
5. Menyusun perencanaan jangka pendek yang meliputi rencana harian, bulanan dan tahunan
C. Visi Di Ruang MPKP
Visi adalah pernyataan singkat yang menyatakan mengapa organisasi itu dibentuk serta tujuan organisasi tersebut. Visi perlu dirumuskan sebagai landasan perencanaan organisasi.
Contoh visi di Ruang MPKP RSMM Bogor adalah “Mengoptimalkan kemampuan hidup klien gangguan jiwa sesuai dengan kemampuannya dengan melibatkan keluarga.”
D. Misi Di Ruang MPKP
Misi adalah pernyataan yang menjelaskan tujuan organisasi dalam mencapai visi yang telah ditetapkan.
Contoh misi di Ruang MPKP di RSMM Bogor adalah “Memberikan pelayanan prima secara holistik meliputi bio, psiko, sosio dan spiritual dengan pendekatan keilmuan keperawatan kesehatan jiwa yang professional.”
E. Filosofi di Ruang MPKP
Filosofi adalah seperangkat nilai-nilai yang mengakar dan menjadi rujukan semua kegiatan dalam organisasi dan menjadi landasan dan arahan seluruh perencanaan jangka panjang. Nilai-nilai dalam filosofi dapat lebih dari satu.
Beberapa contoh pernyataan filosofi :
Individu memiliki harkat dan martabat
Individu mempunyai tujuan tumbuh dan berkembang
Setiap individu memiliki potensi berubah
Setiap orang berfungsi holistik (berinteraksi dan bereaksi terhadap lingkungan)
F. Kebijakan di ruang MPKP
Kebijakan adalah pernyataan yang menjadi acuan organisasi dalam pengambilan keputusan.
Contoh kebijakan di ruang MPKP RSMM Bogor:
“Kepala Ruangan MPKP dipilih melalui fit and proper test”
“Staf MPKP bertugas berdasarkan SK”
G. Rencana Jangka Pendek di Ruang MPKP
Rencana jangka pendek yang diterapkan di ruang MPKP terdiri dari rencana harian, bulanan dan tahunan.
1. Rencana harian
Rencana harian adalah kegiatan yang akan dilaksanakan oleh perawat sesuai dengan perannya masing-masing, yang dibuat pada setiap shift. Isi kegiatan disesuaikan dengan peran dan fungsi perawat. Rencana harian dibuat sebelum operan dilakukan dan dilengkapi pada saat operan dan pre conference.
a. Rencana harian kepala ruangan
Isi rencana harian Kepala Ruangan meliputi:
• Asuhan keperawatan,
• Supervisi Katim dan Perawat pelaksana
• Supervisi tenaga selain perawat dan kerja sama dengan unit lain yang terkait.
Contoh Rencana Harian Kepala Ruangan dapat dilihat pada Tabel I.1.
A. Pendahuluan
Perencanaan adalah keseluruhan proses pemikiran dan penentuan secara matang hal-hal yang akan dikerjakan di masa mendatang dalam rangka pencapaian tujuan yang telah ditetapkan (Siagian, 1990). Perencanaan dapat juga diartikan sebagai suatu rencana kegiatan tentang apa yang harus dilakukan, bagaimana kegiatan itu dilaksanakan, dimana kegiatan itu dilakukan. Sehingga perencanaan yang matang akan memberi petunjuk dan mempermudah dalam melaksanakan suatu kegiatan. Dalam suatu organisasi perencanaan merupakan pola pikir yang dapat menentukan keberhasilan suatu kegiatan dan titik tolak dari kegiatan pelaksanaan kegiatan selanjutnya.
Kegiatan perencanaan dalam praktek keperawatan profesional merupakan upaya meningkatkan profesionalisme dalam pelayanan keperawatan sehingga mutu pelayanan bukan saja dapat dipertahankan tapi bisa terus meningkat sampai tercapai derajat kepuasan tertinggi bagi penerima jasa pelayanan keperawatan dan pelaksana pelayanan itu sendiri. Dengan demikian sangat dibutuhkan perencanaan yang profesional juga.
Jenis-jenis perencanaan terdiri dari rencana jangka panjang, rencana jangka menengah dan rencana jangka pendek. Perencanaan jangka panjang disebut juga perencanaan strategis yang disusun untuk 3 sampai 10 tahun. Perencanaan jangka menengah dibuat dan berlaku 1 sampai 5 tahun. Sedangkan perencanaan jangka pendek dibuat satu jam sampai dengan satu tahun. Hirarki dalam perencanaan terdiri dari perumusan visi, misi, filosofi, peraturan, kebijakan, dan prosedur (Marquis & Houston, 1998).
Kegiatan perencanaan yang dipakai di ruang MPKP meliputi perumusan visi, misi, filosofi dan kebijakan. Sedangkan untuk jenis perencanaan yang diterapkan adalah perencanaan jangka pendek yang meliputi rencana kegiatan harian, bulanan dan tahunan.
B. Tujuan
Setelah mengikuti pelatihan MPKP diharapkan perawat mampu:
1. Merumuskan visi ruang MPKP
2. Merumuskan misi ruang MPKP
3. Merumuskan filosofi ruang MPKP
4. Memahami kebijakan ruang MPKP
5. Menyusun perencanaan jangka pendek yang meliputi rencana harian, bulanan dan tahunan
C. Visi Di Ruang MPKP
Visi adalah pernyataan singkat yang menyatakan mengapa organisasi itu dibentuk serta tujuan organisasi tersebut. Visi perlu dirumuskan sebagai landasan perencanaan organisasi.
Contoh visi di Ruang MPKP RSMM Bogor adalah “Mengoptimalkan kemampuan hidup klien gangguan jiwa sesuai dengan kemampuannya dengan melibatkan keluarga.”
D. Misi Di Ruang MPKP
Misi adalah pernyataan yang menjelaskan tujuan organisasi dalam mencapai visi yang telah ditetapkan.
Contoh misi di Ruang MPKP di RSMM Bogor adalah “Memberikan pelayanan prima secara holistik meliputi bio, psiko, sosio dan spiritual dengan pendekatan keilmuan keperawatan kesehatan jiwa yang professional.”
E. Filosofi di Ruang MPKP
Filosofi adalah seperangkat nilai-nilai yang mengakar dan menjadi rujukan semua kegiatan dalam organisasi dan menjadi landasan dan arahan seluruh perencanaan jangka panjang. Nilai-nilai dalam filosofi dapat lebih dari satu.
Beberapa contoh pernyataan filosofi :
Individu memiliki harkat dan martabat
Individu mempunyai tujuan tumbuh dan berkembang
Setiap individu memiliki potensi berubah
Setiap orang berfungsi holistik (berinteraksi dan bereaksi terhadap lingkungan)
F. Kebijakan di ruang MPKP
Kebijakan adalah pernyataan yang menjadi acuan organisasi dalam pengambilan keputusan.
Contoh kebijakan di ruang MPKP RSMM Bogor:
“Kepala Ruangan MPKP dipilih melalui fit and proper test”
“Staf MPKP bertugas berdasarkan SK”
G. Rencana Jangka Pendek di Ruang MPKP
Rencana jangka pendek yang diterapkan di ruang MPKP terdiri dari rencana harian, bulanan dan tahunan.
1. Rencana harian
Rencana harian adalah kegiatan yang akan dilaksanakan oleh perawat sesuai dengan perannya masing-masing, yang dibuat pada setiap shift. Isi kegiatan disesuaikan dengan peran dan fungsi perawat. Rencana harian dibuat sebelum operan dilakukan dan dilengkapi pada saat operan dan pre conference.
a. Rencana harian kepala ruangan
Isi rencana harian Kepala Ruangan meliputi:
• Asuhan keperawatan,
• Supervisi Katim dan Perawat pelaksana
• Supervisi tenaga selain perawat dan kerja sama dengan unit lain yang terkait.
Contoh Rencana Harian Kepala Ruangan dapat dilihat pada Tabel I.1.
Kamis, 18 Agustus 2011
Hak dan Kewajiban pasien dalam pelayanan Kesehatan
Hak pasien dalam memperoleh pelayanan kesehatan termasuk perawatan tercantum pada UU Kesehatan no 23 tahun 1992 yaitu :
Pasal 14 mengungkapkan bahwa setiap orang berhak untuk mendapatkan kesehatan optimal.
Pasal 53 menyebutkan bahwa setiap pasien berhak atas informasi, rahasia kedokteran, dan hak opini kedua.
Pasal 55 menyebutkan bahwa setiap pasien berhak mendapatkan ganti rugi karena kesalahan dan kelalaian petugas kesehatan.
Secara rinci, hak dan kewajiban pasien adalah sebagai berikut :
A.1. HAK PASIEN :
1. Mendapatkan pelayanan kesehatan optimal /sebaik-baiknya sesuai dengan standar profesi kedokteran.
2. Hak atas informasi yang jelas dan benar tentang penyakit dan tindakan medis yang akan dilakukan dokter/ suster.
3. Hak memilih dokter dan rumah sakit yang akan merawat sang pasien.
4. Hak atas rahasia kedokteran / data penyakit, status, diagnosis dll.
5. Hak untuk memberi persetujuan / menolak atas tindakan medis yang akan dilakukan pada pasien.
6. Hak untuk menghentikan pengobatan.
7. Hak untuk mencari pendapat kedua / pendapat dari dokter lain / Rumah Sakit lain.
8. Hak atas isi rekaman medis / data medis.
9. Hak untuk didampingi anggota keluarga dalam keadaan kritis.
10. Hak untuk memeriksa dan menerima penjelasan tentang biaya yang dikenakan / dokumen pembayaran / bon /bill.
11. Hak untuk mendapatkan ganti rugi kalau terjadi kelalaian dan tindakan yang tidak mengikuti standar operasi profesi kesehatan.
A. 2. KEWAJIBAN PASIEN
1. Memberi keterangan yang jujur tentang penyakit dan perjalanan penyakit kepada petugas kesehatan.
2. Mematuhi nasihat dokter dan perawat
3. Harus ikut menjaga kesehatan dirinya.
4. Memenuhi imbalan jasa pelayanan.
Sedangkan menurut Surat edaran DirJen Yan Medik No: YM.02.04.3.5.2504 Tentang Pedoman Hak dan Kewajiban Pasien, Dokter dan Rumah Sakit, th.1997; UU.Republik Indonesia No. 29 Tahun 2004 Tentang Praktek Kedokteran dan Pernyataan/SK PB. IDI, sebagai berikut : Hak pasien adalah hak-hak pribadi yang dimiliki manusia sebagai pasien, yaitu :
1. Hak memperoleh informasi mengenai tata tertib dan peraturan yang berlaku di rumah sakit. Hak atas pelayanan yang manusiawi, adil dan jujur
2. Hak untuk mendapatkan pelayanan medis yang bermutu sesuai dengan standar profesi kedokteran/kedokteran gigi dan tanpa diskriminasi
3. Hak memperoleh asuhan keperawatan sesuai dengan standar profesi keperawatan
4. Hak untuk memilih dokter dan kelas perawatan sesuai dengan keinginannya dan sesuai dengan peraturan yang berlaku di rumah sakit
5. Hak dirawat oleh dokter yang secara bebas menentukan pendapat klinik dan pendapat etisnya tanpa campur tangan dari pihak luar
7. Hak atas ”privacy” dan kerahasiaan penyakit yang diderita termasuk data-data medisnya kecuali apabila ditentukan berbeda menurut peraturan yang berlaku
8. Hak untuk memperoleh informasi /penjelasan secara lengkap tentang tindakan medik yg akan dilakukan thd dirinya.
9. Hak untuk memberikan persetujuan atas tindakan yang akan dilakukan oleh dokter sehubungan dengan penyakit yang dideritanya
10. Hak untuk menolak tindakan yang hendak dilakukan terhadap dirinya dan mengakhiri pengobatan serta perawatan atas tanggung jawab sendiri sesudah memperoleh informasi yang jelas tentang penyakitnya.
11. Hak didampingi keluarga dan atau penasehatnya dalam beribad dan atau masalah lainya (dalam keadaan kritis atau menjelang kematian).
12. Hak beribadat menurut agama dan kepercayaannya selama tidak mengganggu ketertiban & ketenangan umum/pasien lainya.
13. Hak atas keamanan dan keselamatan selama dalam perawatan di rumah sakit
14. Hak untuk mengajukan usul, saran, perbaikan atas pelayanan rumah sakit terhadap dirinya
16. Hak transparansi biaya pengobatan/tindakan medis yang akan dilakukan terhadap dirinya (memeriksa dan mendapatkan penjelasan pembayaran)
17. Hak akses /’inzage’ kepada rekam medis/ hak atas kandungan ISI rekam medis miliknya
KEWAJIBAN PASIEN
1. Memberikan informasi yang lengkap dan jujur tentang masalah kesehatannya kepada dokter yang merawat
2. Mematuhi nasihat dan petunjuk dokter atau dokter gigi dan perawat dalam pengobatanya.
3. Memberikan imbalan jasa atas pelayanan yang diterima. Berkewajiban memenuhi hal-hal yang telah disepakati/perjanjian yang telah dibuatnya
sumber: Undang-undang RI 23 Tahun 1992
Pasal 14 mengungkapkan bahwa setiap orang berhak untuk mendapatkan kesehatan optimal.
Pasal 53 menyebutkan bahwa setiap pasien berhak atas informasi, rahasia kedokteran, dan hak opini kedua.
Pasal 55 menyebutkan bahwa setiap pasien berhak mendapatkan ganti rugi karena kesalahan dan kelalaian petugas kesehatan.
Secara rinci, hak dan kewajiban pasien adalah sebagai berikut :
A.1. HAK PASIEN :
1. Mendapatkan pelayanan kesehatan optimal /sebaik-baiknya sesuai dengan standar profesi kedokteran.
2. Hak atas informasi yang jelas dan benar tentang penyakit dan tindakan medis yang akan dilakukan dokter/ suster.
3. Hak memilih dokter dan rumah sakit yang akan merawat sang pasien.
4. Hak atas rahasia kedokteran / data penyakit, status, diagnosis dll.
5. Hak untuk memberi persetujuan / menolak atas tindakan medis yang akan dilakukan pada pasien.
6. Hak untuk menghentikan pengobatan.
7. Hak untuk mencari pendapat kedua / pendapat dari dokter lain / Rumah Sakit lain.
8. Hak atas isi rekaman medis / data medis.
9. Hak untuk didampingi anggota keluarga dalam keadaan kritis.
10. Hak untuk memeriksa dan menerima penjelasan tentang biaya yang dikenakan / dokumen pembayaran / bon /bill.
11. Hak untuk mendapatkan ganti rugi kalau terjadi kelalaian dan tindakan yang tidak mengikuti standar operasi profesi kesehatan.
A. 2. KEWAJIBAN PASIEN
1. Memberi keterangan yang jujur tentang penyakit dan perjalanan penyakit kepada petugas kesehatan.
2. Mematuhi nasihat dokter dan perawat
3. Harus ikut menjaga kesehatan dirinya.
4. Memenuhi imbalan jasa pelayanan.
Sedangkan menurut Surat edaran DirJen Yan Medik No: YM.02.04.3.5.2504 Tentang Pedoman Hak dan Kewajiban Pasien, Dokter dan Rumah Sakit, th.1997; UU.Republik Indonesia No. 29 Tahun 2004 Tentang Praktek Kedokteran dan Pernyataan/SK PB. IDI, sebagai berikut : Hak pasien adalah hak-hak pribadi yang dimiliki manusia sebagai pasien, yaitu :
1. Hak memperoleh informasi mengenai tata tertib dan peraturan yang berlaku di rumah sakit. Hak atas pelayanan yang manusiawi, adil dan jujur
2. Hak untuk mendapatkan pelayanan medis yang bermutu sesuai dengan standar profesi kedokteran/kedokteran gigi dan tanpa diskriminasi
3. Hak memperoleh asuhan keperawatan sesuai dengan standar profesi keperawatan
4. Hak untuk memilih dokter dan kelas perawatan sesuai dengan keinginannya dan sesuai dengan peraturan yang berlaku di rumah sakit
5. Hak dirawat oleh dokter yang secara bebas menentukan pendapat klinik dan pendapat etisnya tanpa campur tangan dari pihak luar
7. Hak atas ”privacy” dan kerahasiaan penyakit yang diderita termasuk data-data medisnya kecuali apabila ditentukan berbeda menurut peraturan yang berlaku
8. Hak untuk memperoleh informasi /penjelasan secara lengkap tentang tindakan medik yg akan dilakukan thd dirinya.
9. Hak untuk memberikan persetujuan atas tindakan yang akan dilakukan oleh dokter sehubungan dengan penyakit yang dideritanya
10. Hak untuk menolak tindakan yang hendak dilakukan terhadap dirinya dan mengakhiri pengobatan serta perawatan atas tanggung jawab sendiri sesudah memperoleh informasi yang jelas tentang penyakitnya.
11. Hak didampingi keluarga dan atau penasehatnya dalam beribad dan atau masalah lainya (dalam keadaan kritis atau menjelang kematian).
12. Hak beribadat menurut agama dan kepercayaannya selama tidak mengganggu ketertiban & ketenangan umum/pasien lainya.
13. Hak atas keamanan dan keselamatan selama dalam perawatan di rumah sakit
14. Hak untuk mengajukan usul, saran, perbaikan atas pelayanan rumah sakit terhadap dirinya
16. Hak transparansi biaya pengobatan/tindakan medis yang akan dilakukan terhadap dirinya (memeriksa dan mendapatkan penjelasan pembayaran)
17. Hak akses /’inzage’ kepada rekam medis/ hak atas kandungan ISI rekam medis miliknya
KEWAJIBAN PASIEN
1. Memberikan informasi yang lengkap dan jujur tentang masalah kesehatannya kepada dokter yang merawat
2. Mematuhi nasihat dan petunjuk dokter atau dokter gigi dan perawat dalam pengobatanya.
3. Memberikan imbalan jasa atas pelayanan yang diterima. Berkewajiban memenuhi hal-hal yang telah disepakati/perjanjian yang telah dibuatnya
sumber: Undang-undang RI 23 Tahun 1992
PENERAPAN KOMPONEN PMK DALAM SISTEM REMUNERASI
by udin
Komponen PMK yang terdiri dari 5 poin di atas dapat diterapkan dalam penghitungan poin untuk penerapan uji kompetensi perawat sebagai salah satu tahap pelaksanaan sistem remunerasi. Berikut menurut Hennessy, 2008, diuraikan penerapan komponen tersebut kaitannya dengan uji kompetensi dimaksud:
1. Standar Pelayanan.
Pelayanan kesehatan yang diberikan oleh perawat dan bidan harus dalam koridor standar yang ditetapkan baik secara lingkupnya nasional maupun institusi pelayanan. Standar ini sangat membantu perawat dan bidan untuk mencapai pelayanan yang berkualitas. Melalui pelayanan yang diberikan akan mencerminkan tujuan utama institusi yaitu pencapaian visi, misi, tujuan & falsafahnya. (Mulyana, 2006)
SOP merupakan tolok ukur dlm menilai mutu & penampilan kinerja, memberi arah dan bimbingan langsung dalam asuhan sehingga dapat digunakan untuk menilai diri sendiri, inspeksi dan akreditasi. Berdasarkan fungsi tersebut, maka ada persyaratan SOP yang harus dipenuhi yaitu: secara berkala harus direvisi sesuai situasi, kondisi dan perkembangan IPTEK. Pada beberapa rumah sakit yang telah menerapkan sistem informasi berbasis komputer, SOP ini telah dikembangkan dengan sistem komputerisasi. Sehingga apabila pada pelaksanaan evaluasi seperti assessment competencies (uji kompetensi lokal/ uji kompetensi dengan standar rumah sakit tertentu saja), maka dapat dievaluasi secara langsung performa klinik perawat dan bidan. Nilai dari evaluasi penampilan klinik ini bisa diinput ke komputer dan dibandingkan dengan SOP yang berlaku di RS tersebut, sehingga didapatkan hasil apakah perawat tersebut memenuhi standar operasional yang berlaku di sana atau perlu dilakukan pengulangan evaluasi kinerja.
2. Adanya uraian tugas.
Uraian Tugas/ pekerjaan adalah pernyataan tertulis untuk setiap tingkat jabatan dalam unit kerja yang mencerminkan fungsi, tanggung jawab dan kualitas yang dibutuhkan. Uraian tugas ini sangat bermanfaat untuk menyeleksi individu yang berkualitas, menyediakan alat evaluasi, menentukan budget, penentuan fungsi depertemen hingga klasifikasi fungsi depertemen. Untuk itu uraian tugas pun harus mengikuti perkembangan IPTEK dan perkembangan kebijakan organisasi.
Uraian tugas perawat harus memperhitungkan segala aspek seperti beban kerja, waktu efektif bekerja (FTE), tugas- tugas keperawatan, tugas- tugas non keperawatan, jabatan termasuk predikat/ kriteria perawat seperti PK I-V. Selanjutnya setelah semua poin perhitungan itu dijabarkan, maka dapat dimasukkan data dari kriteria penilaian untuk masing- masing personil perawat.
Uraian tugas ini secara langsung dapat cepat mendeteksi beban kerja perawat/ bidan. Bila terjadi tingginya beban kerja maka dapat segera diantisipasi dengan pelimpahan tugas non keperawatan/kebidanan kepada petugas lain ( Pekarya, Administrasi), jika memungkinkan penambahan jumlah petugas (Perawat, Administrasi, Pekarya), ataupun bila terdeteksi beban masih rendah maka dilakukan pengarahan bimbingan kepada staf untuk melakukan tugas-tugas keperawatan dan kebidanan yang belum dilakukan.
3. Adanya indikator kunci dalam kinerja klinik
Adalah variabel untuk mengukur suatu perubahan untuk melihat mutu pelayanan keperawatan dan kebidanan ke arah yang lebih baik. Indikator ini lebih menitik beratkan pada hasil akhir dari semua tindakan pelayanan yang telah dilakukan oleh perawat dan bidan (outcome). Biasanya variabel ini merupakan pelengkap yang harus ada dari uraian tugas serta SOP yang telah disusun. Indikator kunci ini tidak secara langsung menjadi perhitungan poin dari sistem remunerasi yang ada, namun lebih terkait erat dengan kualitas/ mutu rumah sakit yang bersangkutan. Dengan adanya indikator kunci yang telah disepakati, maka itu dapat mencerminkan mutu rumah sakit termasuk baik/ tidak. Sebagai contoh adalah angka plebitis di rumah sakit:
Jumlah pasien dengan pemberian infus yang terkena plebitis
Jumlah semua pasien yang menggunakan infus
150 orang plebitis
500 org dgn infus
Dari data tersebut, dapat dianalisis bahwa terdapat 30% yang menderita plebitis, ini merupakan temuan untuk memacu rumah sakit mengevaluasi bagaimana pelayanan tis keperawatan dan kebidanan yang dilaksanakan, apakah sesuai dengan standar rumah sakit atau tidak. Selain itu juga dapat menjadi tujuan tambahan bagi rumah sakit untuk menurunkan angka plebitis tersebut dengan berbagai upaya, seperti perbaikan SDM keperawatan, mengkaji ulang kompetensi perawat dan bidan, pelatihan tambahan dan lain sebagainya. Apapun yang menjadi tujuan rumah sakit untuk ke arah kualitas yang lebih baik, akan berkorelasi langsung dengan perbaikan kualitas dan performa inputnya dalam hal ini adalah perawat dan bidan.
4. Adanya monitoring kinerja klinik yang dilaksanakan secara berjenjang dan berkala
Monitoring dan evaluasi merupakan kelanjutan dari dari penentuan indikator kinerja yang telah diuraikan di atas. Monitoring dan evaluasi ini sangat berperan dalam mengidentifikasi masalah keperawatan dan kebidanan, mengambil langkah korektif untuk perbaikan secepatnya serta mengukur pencapaian sasaran/target. Monitoring dan evaluasi inipun dapat bermanfaat untuk memvalidasi poin perhitungan yang dicapai oleh tiap personil perawat dan bidan, sehingga poin remunerasi yang didapat benar- benar mencerminkan performa klinik yang berkualitas dan reward yang didapatpun sesuai dengan performa yang ditampilkan tersebut.
5. Adanya diskusi refleksi kasus
Diskusi Refleksi Kasus (DRK) adalah suatu metode pembelajaran dalam merefleksikan pengalaman perawat dan bidan yang aktual dan menarik dalam memberikan dan mengelola asuhan keperawatan dan kebidanan di lapangan melalui suatu diskusi kelompok yang mengacu pemahaman standar yang ditetapkan. DRK ini merupakan wahana untuk masalah dengan mengacu pada standar keperawatan/kebidanan yang telah ditetapkan. Selain itu, DRK ini pun dapat meningkatkan profesionalisme perawat dan bidan. Meningkatkan aktualisasi diri perawat dan bidan, membangkitkan motivasi belajar perawat dan bidan, belajar untuk menghargai kolega untuk lebih sabar dan meningkatkan kerja sama, memberikan kesempatan individu untuk mengeluarkan pendapat tanpa merasa tertekan serta memberikan masukan kepada pimpinan sarana kesehatan untuk penambahan dan peningkatan SDM perawat dan bidan (pelatihan,pendidikan berkelanjutan, magang, kalakarya), penyempurnaan SOP dan bila memungkinkan, pengadaan alat.
Mulyana (2006), Komponen PMK, Kumpulan Modul PMK (tidak dipublikasikan)
Kertadikara (2008), Sistem Remunerasi Rumah Sakit dan BLUD, Kumpulan artikel Rumah Sakit, Jakarta
Komponen PMK yang terdiri dari 5 poin di atas dapat diterapkan dalam penghitungan poin untuk penerapan uji kompetensi perawat sebagai salah satu tahap pelaksanaan sistem remunerasi. Berikut menurut Hennessy, 2008, diuraikan penerapan komponen tersebut kaitannya dengan uji kompetensi dimaksud:
1. Standar Pelayanan.
Pelayanan kesehatan yang diberikan oleh perawat dan bidan harus dalam koridor standar yang ditetapkan baik secara lingkupnya nasional maupun institusi pelayanan. Standar ini sangat membantu perawat dan bidan untuk mencapai pelayanan yang berkualitas. Melalui pelayanan yang diberikan akan mencerminkan tujuan utama institusi yaitu pencapaian visi, misi, tujuan & falsafahnya. (Mulyana, 2006)
SOP merupakan tolok ukur dlm menilai mutu & penampilan kinerja, memberi arah dan bimbingan langsung dalam asuhan sehingga dapat digunakan untuk menilai diri sendiri, inspeksi dan akreditasi. Berdasarkan fungsi tersebut, maka ada persyaratan SOP yang harus dipenuhi yaitu: secara berkala harus direvisi sesuai situasi, kondisi dan perkembangan IPTEK. Pada beberapa rumah sakit yang telah menerapkan sistem informasi berbasis komputer, SOP ini telah dikembangkan dengan sistem komputerisasi. Sehingga apabila pada pelaksanaan evaluasi seperti assessment competencies (uji kompetensi lokal/ uji kompetensi dengan standar rumah sakit tertentu saja), maka dapat dievaluasi secara langsung performa klinik perawat dan bidan. Nilai dari evaluasi penampilan klinik ini bisa diinput ke komputer dan dibandingkan dengan SOP yang berlaku di RS tersebut, sehingga didapatkan hasil apakah perawat tersebut memenuhi standar operasional yang berlaku di sana atau perlu dilakukan pengulangan evaluasi kinerja.
2. Adanya uraian tugas.
Uraian Tugas/ pekerjaan adalah pernyataan tertulis untuk setiap tingkat jabatan dalam unit kerja yang mencerminkan fungsi, tanggung jawab dan kualitas yang dibutuhkan. Uraian tugas ini sangat bermanfaat untuk menyeleksi individu yang berkualitas, menyediakan alat evaluasi, menentukan budget, penentuan fungsi depertemen hingga klasifikasi fungsi depertemen. Untuk itu uraian tugas pun harus mengikuti perkembangan IPTEK dan perkembangan kebijakan organisasi.
Uraian tugas perawat harus memperhitungkan segala aspek seperti beban kerja, waktu efektif bekerja (FTE), tugas- tugas keperawatan, tugas- tugas non keperawatan, jabatan termasuk predikat/ kriteria perawat seperti PK I-V. Selanjutnya setelah semua poin perhitungan itu dijabarkan, maka dapat dimasukkan data dari kriteria penilaian untuk masing- masing personil perawat.
Uraian tugas ini secara langsung dapat cepat mendeteksi beban kerja perawat/ bidan. Bila terjadi tingginya beban kerja maka dapat segera diantisipasi dengan pelimpahan tugas non keperawatan/kebidanan kepada petugas lain ( Pekarya, Administrasi), jika memungkinkan penambahan jumlah petugas (Perawat, Administrasi, Pekarya), ataupun bila terdeteksi beban masih rendah maka dilakukan pengarahan bimbingan kepada staf untuk melakukan tugas-tugas keperawatan dan kebidanan yang belum dilakukan.
3. Adanya indikator kunci dalam kinerja klinik
Adalah variabel untuk mengukur suatu perubahan untuk melihat mutu pelayanan keperawatan dan kebidanan ke arah yang lebih baik. Indikator ini lebih menitik beratkan pada hasil akhir dari semua tindakan pelayanan yang telah dilakukan oleh perawat dan bidan (outcome). Biasanya variabel ini merupakan pelengkap yang harus ada dari uraian tugas serta SOP yang telah disusun. Indikator kunci ini tidak secara langsung menjadi perhitungan poin dari sistem remunerasi yang ada, namun lebih terkait erat dengan kualitas/ mutu rumah sakit yang bersangkutan. Dengan adanya indikator kunci yang telah disepakati, maka itu dapat mencerminkan mutu rumah sakit termasuk baik/ tidak. Sebagai contoh adalah angka plebitis di rumah sakit:
Jumlah pasien dengan pemberian infus yang terkena plebitis
Jumlah semua pasien yang menggunakan infus
150 orang plebitis
500 org dgn infus
Dari data tersebut, dapat dianalisis bahwa terdapat 30% yang menderita plebitis, ini merupakan temuan untuk memacu rumah sakit mengevaluasi bagaimana pelayanan tis keperawatan dan kebidanan yang dilaksanakan, apakah sesuai dengan standar rumah sakit atau tidak. Selain itu juga dapat menjadi tujuan tambahan bagi rumah sakit untuk menurunkan angka plebitis tersebut dengan berbagai upaya, seperti perbaikan SDM keperawatan, mengkaji ulang kompetensi perawat dan bidan, pelatihan tambahan dan lain sebagainya. Apapun yang menjadi tujuan rumah sakit untuk ke arah kualitas yang lebih baik, akan berkorelasi langsung dengan perbaikan kualitas dan performa inputnya dalam hal ini adalah perawat dan bidan.
4. Adanya monitoring kinerja klinik yang dilaksanakan secara berjenjang dan berkala
Monitoring dan evaluasi merupakan kelanjutan dari dari penentuan indikator kinerja yang telah diuraikan di atas. Monitoring dan evaluasi ini sangat berperan dalam mengidentifikasi masalah keperawatan dan kebidanan, mengambil langkah korektif untuk perbaikan secepatnya serta mengukur pencapaian sasaran/target. Monitoring dan evaluasi inipun dapat bermanfaat untuk memvalidasi poin perhitungan yang dicapai oleh tiap personil perawat dan bidan, sehingga poin remunerasi yang didapat benar- benar mencerminkan performa klinik yang berkualitas dan reward yang didapatpun sesuai dengan performa yang ditampilkan tersebut.
5. Adanya diskusi refleksi kasus
Diskusi Refleksi Kasus (DRK) adalah suatu metode pembelajaran dalam merefleksikan pengalaman perawat dan bidan yang aktual dan menarik dalam memberikan dan mengelola asuhan keperawatan dan kebidanan di lapangan melalui suatu diskusi kelompok yang mengacu pemahaman standar yang ditetapkan. DRK ini merupakan wahana untuk masalah dengan mengacu pada standar keperawatan/kebidanan yang telah ditetapkan. Selain itu, DRK ini pun dapat meningkatkan profesionalisme perawat dan bidan. Meningkatkan aktualisasi diri perawat dan bidan, membangkitkan motivasi belajar perawat dan bidan, belajar untuk menghargai kolega untuk lebih sabar dan meningkatkan kerja sama, memberikan kesempatan individu untuk mengeluarkan pendapat tanpa merasa tertekan serta memberikan masukan kepada pimpinan sarana kesehatan untuk penambahan dan peningkatan SDM perawat dan bidan (pelatihan,pendidikan berkelanjutan, magang, kalakarya), penyempurnaan SOP dan bila memungkinkan, pengadaan alat.
Mulyana (2006), Komponen PMK, Kumpulan Modul PMK (tidak dipublikasikan)
Kertadikara (2008), Sistem Remunerasi Rumah Sakit dan BLUD, Kumpulan artikel Rumah Sakit, Jakarta
Rabu, 17 Agustus 2011
STRATEGI PELAYANAN PRIMA
STRATEGI PELAYANAN PRIMA
oleh : Drs. M.P. SIMANJUNTAK
UPTD. PENGEMBANGAN PRODUKTIVITAS DAERAH
DISNAKERTRANS. PROP. KALTIM
A. Pendahuluan
Pemberian pelayanan aparatur pemerintah kepada masyarakat adalah merupakan perwujudan dari fungsi aparatur negara sebagai abdi masyarakat didalam melaksanakan sebagaimana diungkapkan diatas, ternyata masih banyak pelayanan kepada masyarakat masih rendah.
Kasus-kasus yang ada dalam masyarakat pengurusan ke instansi pemerintah dapat ditemukan misalnya, mental aparatur kurang simpatik, keseluruhan ini dapat dikatakan mempunyai unsur korupsi, kronis dan nepotisme. Kejadian diatas mempunyai unsur biaya yang tinggi dan tingkat kebocoran yang cukup mengkuatirkan baik dalam kehidupan sosial maupun dalam kehidupan ekonomi.
Kasus-kasus diatas jika terus menerus akan berubah menjadi budaya, hal ini berbahaya terhadap kemajuan sosial, politik, ekonomi dan hukum. Oleh karena itu untuk menanggulangi masalah tersebut perlu dikembangkan dan disebarluaskan sistem manajemen pelayanan prima sebagai syarat pemenuhan kepuasan pelanggan.
Dasar Hukum dalam pelayanan prima adalah :
1. Instruksi Presiden RI No. 1 / 1995 tentang Perbaikan dan Peningkatan Mutu Pelayanan Aparatur Pemerintah Kepada Masyarakat
2. UU No. 8 / 1974 tentang Pokok Kepegawaian RI
3. Peraturan Pemerintah No. 30/1980 tentang Disiplin Pegawai Negeri Sipil
4. Keputusan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara No. 81 / 1993 tentang Pedoman Tata Laksanan Pelaksanaan Umum
B. Definisi
1. Pelayanan adalah suatu kegiatan atau suatu urutan kegiatan yang terjadi dalam interaksi langsung dengan manusia atau mesin secara fisik untuk menyediakan kepuasan konsumen. (Lehtinen 1983 p. 21). Pelayanan adalah sesuatu yang dapat diperjualbelikan dan bahkan tidak dapat dihilangkan (Gumehsoson Th. 1987 p. 22)
2. Pelayanan Umum adalah segala bentuk kegiatan pelayanan umum yang dilaksanakan oleh instansi pemerintah di Pusat, di Daerah dan di Lingkungan BUMN/BUMD, dalam bentuk barang dan jasa, baik dalam rangka pelaksanaan ketentuan peraturan perundangan (SK Menpan No. 81 /1993 tentang Pedoman Tata laksana Pelayanan Umum) maupun dalam proses interaksi sosial masyarakat luas
Berarti pelayanan umum dapat diartikan memproses pelayanan kepada masyarakat / customer, baik berupa barang atau jasa melalui tahapan, prosedur, persyaratan-persyaratan, waktu dan pembiayaan yang dilakukan secara transparan untuk mencapai kepuasan sebagaimana visi yang telah ditetapkan dalam organisasi.
3. Pelayanan Prima, sebagaimana tuntutan pelayanan yang memuaskan pelanggan / masyarakat, maka diperlukan persyaratan agar dapat dirasakan oleh setiap pelayan untuk memiliki kualitas kompetensi yang profesional, dengan demikian kualitas kompetensi profesionalisme menjadi sesuatu aspek penting dan wajar dalam setiap transaksi.
4. Pemberi pelayanan adalah pejabat / pegawai instansi pemerintah atau swasta yang melaksanakan tugas dan fungsi dibidang pelayanan.
5. Penerima Pelayanan adalah orang atau badan hukum/yayasan yang menerima pelayanan umum
6. Tata Kerja adalah cara-cara pelaksanaan kerja seefektif dan seefisien mungkin tentang suatu tugas untuk mencapai tujuan yang ditetapkan lebih dahulu yang menggunakan peralatan, fasilitas, tenaga, waktu, ruang, metode dan biaya yang tersedia.
7. Prosedur Kerja adalah rangkaian tata kerja yang berkaitan satu sama lain, sehingga menunjukan adanya urutan tahapan secara jelas dan pasti serta cara-cara yang harus ditempuh dalam rangka penyelesaian suatu bidang tugas.
8. Sistem Kerja adalah rangkaian tata kerja dan prosedur kerja yang membentuk suatu kebulatan pola kerja tertentu dalam rangka mencapai hasil kerja yang diharapkan.
9. Wewenang adalah hak seseorang pejabat untuk mengambil tindakan dalam rangka pelaksanaan tugas dan fungsi di bidang pelayanan umum
C. Unsur-Unsur Pelayanan Prima
Apapun pelayanan kepada masyarakat tentunya telah ada suatu ketetapan tata laksananya, prosedur dan kewenangan sehingga penerima pelayanan puas apa yang telah diterimanya. Sehubungan dengan itu pelayanan kepada masyarakat harus mempunyai makna mutu pelayanan yang :
1. Memenuhi standar waktu, tempat, biaya, kualitas dan prosedur yang ditetapkan untuk penyelesaian setiap tugas dalam pemberian pelayanan.
2. Memuaskan pelanggan artinya bahwa setiap keinginan orang yang menerima pelayanan merasa puas, berkualitas dan tepat waktu dan biaya terjangkau.
Unsur-unsur kualitas pelayanan al :
1. PENAMPILAN. Personal dan fisik sebagaimana layanan kantor depan (resepsionis) memerlukan persyaratan seperti : wajah harus menawan, badan harus tegap / tidak cacat, tutur bahasa menarik, familiar dalam perilaku, penampilan penuh percaya diri, busana harus menarik
2. TEPAT WAKTU & JANJI. Secara utuh dan prima petugas pelayanan dalam menyampaikan perlu diperhitungkan janji yang disampaikan kepada pelanggan bukan sebaliknya selalu ingkar janji. Demikian juga waktu jika mengutarakan 2 hari selesai harus betul-betul dapat memenuhinya.
3. KESEDIAAN MELAYANI. Sebagaimana fungsi dan wewenang harus melayani kepada para pelanggan, konsekuensi logis petugas harus benar-benar bersedia melayani kepada para pelanggan.
4. PENGETAHUAN DAN KEAHLIAN. Sebagai syarat untuk melayani dengan baik, petugas harus mempunyai pengetahuan dan keahlian. Disini petugas pelayanan harus memiliki tingkat pendidikan tertentu dan pelatihan tertentu yang disyaratkan dalam jabatan serta memiliki pengalaman yang luas dibidangnya.
5. KESOPANAN & RAMAH TAMAH. Masyarakat pengguna jasa pelayanan itu sendiri dan lapisan masyarakat baik tingkat status ekonomi dan sosial rendah maupun tinggi terdapat perbedaan karakternya maka petugas pelayanan masyarakat dituntut adanya keramahtamahan yang standar dalam melayani, sabar, tidak egois dan santun dalam bertutur kepada pelanggan.
6. KEJUJURAN DAN KEPERCAYAAN. Pelayanan ini oleh pengguna jasa dapat dipergunakan berbagai aspek, maka dalam penyelenggaraannya harus transparan dari aspek kejujuran, jujur dalam bentuk aturan, jujur dalam pembiayaan dan jujur dalam penyelesaian waktunya. Dari aspek kejujuran ini petugas pelayanan tersebut dapat dikategorikan sebaga pelayanan yang dipercaya dari segi sikapnya, dapat dipercaya dari tutur katanya, dapat dipercaya dalam menyelesaikan akhir pelayanan sehingga otomatis pelanggan merasa puas. Unsur pelayanan prima dapat ditambah unsur yang lain.
7. KEPASTIAN HUKUM. Secara sadar bahwa hasil pelayanan terhadap masyarakat yang berupa surat keputusan, harus mempunyai legitimasi atau mempunyai kepastian hukum. Bila setiap hasil yang tidak mempunyai kepastian hukum jelas akan mempengaruhi sikap masyarakat, misalnya pengurusan KTP, KK dllbila ditemukan cacat hukum akan mempengaruhi kredibilitas instansi yang mengeluarkan surat legitimasi tersebut.
8. KETERBUKAAN. Secara pasti bahwa setiap urusan / kegiatan yang memperlakukan ijin, maka ketentuan keterbukaan perlu ditegakan. Keterbukaan itu akan mempengaruhi unsur-unsur kesederhanaan, kejelasan informasi kepada masyarakat.
9. EFISIEN. Dari setiap pelayanan dalam berbagai urusan, tuntutan masyarakat adalah efisiensi dan efektifitas dari berbagai aspek sumber daya sehingga menghasilkan biaya yang murah, waktu yang singkat dan tepat serta hasil kualitas yang tinggi. Dengan demikian efisiensi dan efektifitas merupakan tuntutan yang harus diwujudkan dan perlu diperhatikan secara serius.
10. BIAYA. Pemantapan pengurusan dalam pelayanan diperlukan kewajaran dalam penentuan pembiayaan, pembiayaan harus disesuaikan dengan daya beli masyarakat dan pengeluaran biaya harus transparan dan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
11. TIDAK RASIAL. Pengurusan pelayanan dilarang membeda-bedakan kesukuan, agama, aliran dan politik dengan demikian segala urusan harus memenuhi jangkauan yang luas dan merata.
12. KESEDERHANAAN. Prosedur dan tata cara pelayanan kepada masyarakat untuk diperhatikan kemudahan, tidak berbelit-belit dalam pelaksanaan.
D. Perilaku Yang Mencerminkan Pelayanan Prima
1. MENGETAHUI VISI
Dalam menetapkan visi harus melakukan sebagai berikut :
a. Gambaran masa depan yang akan dicapai oleh organisasi
b. Karakteristik organisasi
c. Bagaimana mencapai keberhasilan
d. Bagaimana mengemukakan keutamaan visi yg akan dicapai
e. Bagaimana mencapai masa depan
f. Bagaimana membentuk interest bersama dlm masyarakat
g. SDM yang unggul dan bermental diberi makna kebanggaan setiap melaksanakan tugas dengan hasil yang baik
h. Secara bersama menumbuhkembangkan keunggulan kompetitif
2. MISI
Dalam menjabarkan visi harus menyusun/menetapkan misi suatu organisasi yaitu tentang pokok-pokok kegiatan mengoperasionalkan fungsi arah yang terukur.
3. MENCAPAI SASARAN
Untuk mencapai sasaran hal-hal yang perlu diperhatikan adalah :
* Sasaran Jelas & Pasti * Tertulis
* Efisien * Harus Jelas & mudah dipahami
* Ekonomis * Kualitas Merata
* Adil * Biaya Minimum
* Tepat Waktu * Seimbang
E. Hakekat Pelayanan Umum
Mengingat ruang lingkup pelayanan umum yang diberikan oleh instansi/ lembaga sangat luas dan kompleks baik menurut jenis maupun sifat maka upaya menetapkan dasar-dasar pelayanan umum tersebut merupakan hal yang mendasar & sangat perlu untuk mengatasi kompleksitas tersebut. Sehingga pelayanan umum dapat digambarkan sbb :
1. Meningkatkan kualitas dan produktivitas pelaksanaan tugas dan fungsi instansi/lembaga di bidang pelayanan umum.
2. Mendorong agar dapat mengefektifkan sistem dan tata laksana pelayanan, sehingga pelayanan umum dapat diselenggarakan secara lebih berdaya guna dan berhasil guna.
3. Mendorong terciptanya kreatifitas, prakarsa dan peran serta masyarakat utk mencapai pembangunan serta meningkatkan kesejahteraan masyarakat luas.
F. Rangkuman
Dalam era globalisasi dan informasi semua kegiatan / usaha yang berorientasi pada pelayanan masyarakat dituntut untuk meberikan servis / pelayanan yang prima dengan ditunjang keprimaan :
SDM YANG PROFESIONAL
Yang harus diperhatikan :
* Sistem rekruitmen yang transparan
* Menetapkan beban kerja organisasi & staf
* Menyusun persyaratan staf
* Menyusun persyaratan Jabatan
* Penempatan sesuai dgn kualifikasi persyaratan jabatan
* Pembinaan karier jelas.
* Upah & tingkat kesejahteraan betul-betul dijamin
2. ORGANISASI MEMPUNYAI VISI & MISI TRANSPARAN
Dalam penetapan visi & misi harus berorientasi kepada pemberian pelayanan jasa dengan kualitas dan inovasi tinggi (prima) yang dibangun oleh seluruh staf secara berjenjang
* Menyediakan produk pelayanan secara baik/prima, cermat,
cepat, ramah, aman dan tepat.
* Pelayanan terbaik adalah selalu berorientasi mengutamakan
kepentingan dan kepuasan pelanggan.
* Bimbingan dan panduan utk mencari dlm inovasi dan efisiensi
serta memberikan kepuasan kpd pelanggan baik dalam hal-hal
kecil maupun besar
* Menemukan tuntutan dengan kemampuan tinggi krn masing-
masing sbg satu kesatuan utk memberikan yang terunggul
3. FASILITAS YANG MEMADAI
Nilai-nilai utama dalam pelayanan :
* Mengutamakan kepuasan pelanggan
* Peka thd ketepatan proses & teknilogi dalam pelaksanaan tugas
* Komitmen thd pengembangan tugas pekerjaan
* Kesiapan utk melaksanakan kerjasama dalam kelompok
* Adanya kesamaan pembauran utk memahami memenuhi dan
mengantisipasi kebutuhan pelanggan
G. Penutup
Demikian tentang PELAYANAN PRIMA sebagai syarat mewujudkan kepuasan pelanggan dan sebagai kunci keberhasilan dalam pelayanan prima adalah terletak pada sikap mental SDM dan tingkat profe-sionalme SDM yang tentunya didukung oleh tingkat upah / gaji (kesejateraan) yang memadai
DAFTAR PUSTAKA
1. UU No. 8 / 1974 tentang Pokok Pokok Kepegawaian
2. INPRES RI No. 1 / 1995 tentang Perbaikan dan Peningkatan Mutu Pelayanan Aparatur Pemerintah Kepada Masyarakat
3. MARKETING PLUS, Hermawan Kertajaya, Jalur Sukses Untuk Bisnin, Jalur Sukses Untuk Sukses, Pustaka Sinar Harapan, Jakarta, 1995
oleh : Drs. M.P. SIMANJUNTAK
UPTD. PENGEMBANGAN PRODUKTIVITAS DAERAH
DISNAKERTRANS. PROP. KALTIM
A. Pendahuluan
Pemberian pelayanan aparatur pemerintah kepada masyarakat adalah merupakan perwujudan dari fungsi aparatur negara sebagai abdi masyarakat didalam melaksanakan sebagaimana diungkapkan diatas, ternyata masih banyak pelayanan kepada masyarakat masih rendah.
Kasus-kasus yang ada dalam masyarakat pengurusan ke instansi pemerintah dapat ditemukan misalnya, mental aparatur kurang simpatik, keseluruhan ini dapat dikatakan mempunyai unsur korupsi, kronis dan nepotisme. Kejadian diatas mempunyai unsur biaya yang tinggi dan tingkat kebocoran yang cukup mengkuatirkan baik dalam kehidupan sosial maupun dalam kehidupan ekonomi.
Kasus-kasus diatas jika terus menerus akan berubah menjadi budaya, hal ini berbahaya terhadap kemajuan sosial, politik, ekonomi dan hukum. Oleh karena itu untuk menanggulangi masalah tersebut perlu dikembangkan dan disebarluaskan sistem manajemen pelayanan prima sebagai syarat pemenuhan kepuasan pelanggan.
Dasar Hukum dalam pelayanan prima adalah :
1. Instruksi Presiden RI No. 1 / 1995 tentang Perbaikan dan Peningkatan Mutu Pelayanan Aparatur Pemerintah Kepada Masyarakat
2. UU No. 8 / 1974 tentang Pokok Kepegawaian RI
3. Peraturan Pemerintah No. 30/1980 tentang Disiplin Pegawai Negeri Sipil
4. Keputusan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara No. 81 / 1993 tentang Pedoman Tata Laksanan Pelaksanaan Umum
B. Definisi
1. Pelayanan adalah suatu kegiatan atau suatu urutan kegiatan yang terjadi dalam interaksi langsung dengan manusia atau mesin secara fisik untuk menyediakan kepuasan konsumen. (Lehtinen 1983 p. 21). Pelayanan adalah sesuatu yang dapat diperjualbelikan dan bahkan tidak dapat dihilangkan (Gumehsoson Th. 1987 p. 22)
2. Pelayanan Umum adalah segala bentuk kegiatan pelayanan umum yang dilaksanakan oleh instansi pemerintah di Pusat, di Daerah dan di Lingkungan BUMN/BUMD, dalam bentuk barang dan jasa, baik dalam rangka pelaksanaan ketentuan peraturan perundangan (SK Menpan No. 81 /1993 tentang Pedoman Tata laksana Pelayanan Umum) maupun dalam proses interaksi sosial masyarakat luas
Berarti pelayanan umum dapat diartikan memproses pelayanan kepada masyarakat / customer, baik berupa barang atau jasa melalui tahapan, prosedur, persyaratan-persyaratan, waktu dan pembiayaan yang dilakukan secara transparan untuk mencapai kepuasan sebagaimana visi yang telah ditetapkan dalam organisasi.
3. Pelayanan Prima, sebagaimana tuntutan pelayanan yang memuaskan pelanggan / masyarakat, maka diperlukan persyaratan agar dapat dirasakan oleh setiap pelayan untuk memiliki kualitas kompetensi yang profesional, dengan demikian kualitas kompetensi profesionalisme menjadi sesuatu aspek penting dan wajar dalam setiap transaksi.
4. Pemberi pelayanan adalah pejabat / pegawai instansi pemerintah atau swasta yang melaksanakan tugas dan fungsi dibidang pelayanan.
5. Penerima Pelayanan adalah orang atau badan hukum/yayasan yang menerima pelayanan umum
6. Tata Kerja adalah cara-cara pelaksanaan kerja seefektif dan seefisien mungkin tentang suatu tugas untuk mencapai tujuan yang ditetapkan lebih dahulu yang menggunakan peralatan, fasilitas, tenaga, waktu, ruang, metode dan biaya yang tersedia.
7. Prosedur Kerja adalah rangkaian tata kerja yang berkaitan satu sama lain, sehingga menunjukan adanya urutan tahapan secara jelas dan pasti serta cara-cara yang harus ditempuh dalam rangka penyelesaian suatu bidang tugas.
8. Sistem Kerja adalah rangkaian tata kerja dan prosedur kerja yang membentuk suatu kebulatan pola kerja tertentu dalam rangka mencapai hasil kerja yang diharapkan.
9. Wewenang adalah hak seseorang pejabat untuk mengambil tindakan dalam rangka pelaksanaan tugas dan fungsi di bidang pelayanan umum
C. Unsur-Unsur Pelayanan Prima
Apapun pelayanan kepada masyarakat tentunya telah ada suatu ketetapan tata laksananya, prosedur dan kewenangan sehingga penerima pelayanan puas apa yang telah diterimanya. Sehubungan dengan itu pelayanan kepada masyarakat harus mempunyai makna mutu pelayanan yang :
1. Memenuhi standar waktu, tempat, biaya, kualitas dan prosedur yang ditetapkan untuk penyelesaian setiap tugas dalam pemberian pelayanan.
2. Memuaskan pelanggan artinya bahwa setiap keinginan orang yang menerima pelayanan merasa puas, berkualitas dan tepat waktu dan biaya terjangkau.
Unsur-unsur kualitas pelayanan al :
1. PENAMPILAN. Personal dan fisik sebagaimana layanan kantor depan (resepsionis) memerlukan persyaratan seperti : wajah harus menawan, badan harus tegap / tidak cacat, tutur bahasa menarik, familiar dalam perilaku, penampilan penuh percaya diri, busana harus menarik
2. TEPAT WAKTU & JANJI. Secara utuh dan prima petugas pelayanan dalam menyampaikan perlu diperhitungkan janji yang disampaikan kepada pelanggan bukan sebaliknya selalu ingkar janji. Demikian juga waktu jika mengutarakan 2 hari selesai harus betul-betul dapat memenuhinya.
3. KESEDIAAN MELAYANI. Sebagaimana fungsi dan wewenang harus melayani kepada para pelanggan, konsekuensi logis petugas harus benar-benar bersedia melayani kepada para pelanggan.
4. PENGETAHUAN DAN KEAHLIAN. Sebagai syarat untuk melayani dengan baik, petugas harus mempunyai pengetahuan dan keahlian. Disini petugas pelayanan harus memiliki tingkat pendidikan tertentu dan pelatihan tertentu yang disyaratkan dalam jabatan serta memiliki pengalaman yang luas dibidangnya.
5. KESOPANAN & RAMAH TAMAH. Masyarakat pengguna jasa pelayanan itu sendiri dan lapisan masyarakat baik tingkat status ekonomi dan sosial rendah maupun tinggi terdapat perbedaan karakternya maka petugas pelayanan masyarakat dituntut adanya keramahtamahan yang standar dalam melayani, sabar, tidak egois dan santun dalam bertutur kepada pelanggan.
6. KEJUJURAN DAN KEPERCAYAAN. Pelayanan ini oleh pengguna jasa dapat dipergunakan berbagai aspek, maka dalam penyelenggaraannya harus transparan dari aspek kejujuran, jujur dalam bentuk aturan, jujur dalam pembiayaan dan jujur dalam penyelesaian waktunya. Dari aspek kejujuran ini petugas pelayanan tersebut dapat dikategorikan sebaga pelayanan yang dipercaya dari segi sikapnya, dapat dipercaya dari tutur katanya, dapat dipercaya dalam menyelesaikan akhir pelayanan sehingga otomatis pelanggan merasa puas. Unsur pelayanan prima dapat ditambah unsur yang lain.
7. KEPASTIAN HUKUM. Secara sadar bahwa hasil pelayanan terhadap masyarakat yang berupa surat keputusan, harus mempunyai legitimasi atau mempunyai kepastian hukum. Bila setiap hasil yang tidak mempunyai kepastian hukum jelas akan mempengaruhi sikap masyarakat, misalnya pengurusan KTP, KK dllbila ditemukan cacat hukum akan mempengaruhi kredibilitas instansi yang mengeluarkan surat legitimasi tersebut.
8. KETERBUKAAN. Secara pasti bahwa setiap urusan / kegiatan yang memperlakukan ijin, maka ketentuan keterbukaan perlu ditegakan. Keterbukaan itu akan mempengaruhi unsur-unsur kesederhanaan, kejelasan informasi kepada masyarakat.
9. EFISIEN. Dari setiap pelayanan dalam berbagai urusan, tuntutan masyarakat adalah efisiensi dan efektifitas dari berbagai aspek sumber daya sehingga menghasilkan biaya yang murah, waktu yang singkat dan tepat serta hasil kualitas yang tinggi. Dengan demikian efisiensi dan efektifitas merupakan tuntutan yang harus diwujudkan dan perlu diperhatikan secara serius.
10. BIAYA. Pemantapan pengurusan dalam pelayanan diperlukan kewajaran dalam penentuan pembiayaan, pembiayaan harus disesuaikan dengan daya beli masyarakat dan pengeluaran biaya harus transparan dan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
11. TIDAK RASIAL. Pengurusan pelayanan dilarang membeda-bedakan kesukuan, agama, aliran dan politik dengan demikian segala urusan harus memenuhi jangkauan yang luas dan merata.
12. KESEDERHANAAN. Prosedur dan tata cara pelayanan kepada masyarakat untuk diperhatikan kemudahan, tidak berbelit-belit dalam pelaksanaan.
D. Perilaku Yang Mencerminkan Pelayanan Prima
1. MENGETAHUI VISI
Dalam menetapkan visi harus melakukan sebagai berikut :
a. Gambaran masa depan yang akan dicapai oleh organisasi
b. Karakteristik organisasi
c. Bagaimana mencapai keberhasilan
d. Bagaimana mengemukakan keutamaan visi yg akan dicapai
e. Bagaimana mencapai masa depan
f. Bagaimana membentuk interest bersama dlm masyarakat
g. SDM yang unggul dan bermental diberi makna kebanggaan setiap melaksanakan tugas dengan hasil yang baik
h. Secara bersama menumbuhkembangkan keunggulan kompetitif
2. MISI
Dalam menjabarkan visi harus menyusun/menetapkan misi suatu organisasi yaitu tentang pokok-pokok kegiatan mengoperasionalkan fungsi arah yang terukur.
3. MENCAPAI SASARAN
Untuk mencapai sasaran hal-hal yang perlu diperhatikan adalah :
* Sasaran Jelas & Pasti * Tertulis
* Efisien * Harus Jelas & mudah dipahami
* Ekonomis * Kualitas Merata
* Adil * Biaya Minimum
* Tepat Waktu * Seimbang
E. Hakekat Pelayanan Umum
Mengingat ruang lingkup pelayanan umum yang diberikan oleh instansi/ lembaga sangat luas dan kompleks baik menurut jenis maupun sifat maka upaya menetapkan dasar-dasar pelayanan umum tersebut merupakan hal yang mendasar & sangat perlu untuk mengatasi kompleksitas tersebut. Sehingga pelayanan umum dapat digambarkan sbb :
1. Meningkatkan kualitas dan produktivitas pelaksanaan tugas dan fungsi instansi/lembaga di bidang pelayanan umum.
2. Mendorong agar dapat mengefektifkan sistem dan tata laksana pelayanan, sehingga pelayanan umum dapat diselenggarakan secara lebih berdaya guna dan berhasil guna.
3. Mendorong terciptanya kreatifitas, prakarsa dan peran serta masyarakat utk mencapai pembangunan serta meningkatkan kesejahteraan masyarakat luas.
F. Rangkuman
Dalam era globalisasi dan informasi semua kegiatan / usaha yang berorientasi pada pelayanan masyarakat dituntut untuk meberikan servis / pelayanan yang prima dengan ditunjang keprimaan :
SDM YANG PROFESIONAL
Yang harus diperhatikan :
* Sistem rekruitmen yang transparan
* Menetapkan beban kerja organisasi & staf
* Menyusun persyaratan staf
* Menyusun persyaratan Jabatan
* Penempatan sesuai dgn kualifikasi persyaratan jabatan
* Pembinaan karier jelas.
* Upah & tingkat kesejahteraan betul-betul dijamin
2. ORGANISASI MEMPUNYAI VISI & MISI TRANSPARAN
Dalam penetapan visi & misi harus berorientasi kepada pemberian pelayanan jasa dengan kualitas dan inovasi tinggi (prima) yang dibangun oleh seluruh staf secara berjenjang
* Menyediakan produk pelayanan secara baik/prima, cermat,
cepat, ramah, aman dan tepat.
* Pelayanan terbaik adalah selalu berorientasi mengutamakan
kepentingan dan kepuasan pelanggan.
* Bimbingan dan panduan utk mencari dlm inovasi dan efisiensi
serta memberikan kepuasan kpd pelanggan baik dalam hal-hal
kecil maupun besar
* Menemukan tuntutan dengan kemampuan tinggi krn masing-
masing sbg satu kesatuan utk memberikan yang terunggul
3. FASILITAS YANG MEMADAI
Nilai-nilai utama dalam pelayanan :
* Mengutamakan kepuasan pelanggan
* Peka thd ketepatan proses & teknilogi dalam pelaksanaan tugas
* Komitmen thd pengembangan tugas pekerjaan
* Kesiapan utk melaksanakan kerjasama dalam kelompok
* Adanya kesamaan pembauran utk memahami memenuhi dan
mengantisipasi kebutuhan pelanggan
G. Penutup
Demikian tentang PELAYANAN PRIMA sebagai syarat mewujudkan kepuasan pelanggan dan sebagai kunci keberhasilan dalam pelayanan prima adalah terletak pada sikap mental SDM dan tingkat profe-sionalme SDM yang tentunya didukung oleh tingkat upah / gaji (kesejateraan) yang memadai
DAFTAR PUSTAKA
1. UU No. 8 / 1974 tentang Pokok Pokok Kepegawaian
2. INPRES RI No. 1 / 1995 tentang Perbaikan dan Peningkatan Mutu Pelayanan Aparatur Pemerintah Kepada Masyarakat
3. MARKETING PLUS, Hermawan Kertajaya, Jalur Sukses Untuk Bisnin, Jalur Sukses Untuk Sukses, Pustaka Sinar Harapan, Jakarta, 1995
Motivasi Kerja
Kali ini kita akan membahas dua teori mengenai motivasi yang populer, yaitu: Teori Hirarki Kebutuhan-Maslow, dan teori Harapan-David Nadler dan Edward Lawler.
1. Teori Hirarki Kebutuhan.
Teori ini diciptakan Maslow yang menjadi populer dikalangan manajemen karena teori ini menggolongkan kebutuhan manusia secara mudah tetapi logis. Menurut Maslow, motivasi orang merupakan hirarki dari lima kebutuhan yang berbentuk piramid. Pada setiap saat orang termotivasi untuk memenuhi kebutuhan yang dirasakan paling mendesak pada saat itu. Hirarki kebutuhan tersebut adalah sebagai berikut:
Hirarki Jenis Kebutuhan
5 Perkembangan pribadi
4 Mampu mengerjakan pekerjaan dengan baik, status dan pengakuan
3 Menjadi bagian dari organisasi
2 Lingkungan kerja yang aman, kontinyuitas pekerjaan, peraturan yang pasti, bebas dari ancaman dan kesewenangan
1 Fisik
Menurut Maslow, sebelum memenuhi kebutuhan yang hirarkinya lebih tinggi, kebutuhan yang lebih rendah harus terpenuhi terlebih dahulu. Sedang kebutuhan hirarki setiap orang tidak sama dan perbedaannya terlalu jauh.
1. Teori Harapan.
Teori ini diciptakan oleh David Nadler dan Edward Lawler yang didasarkan pada empat asumsi mengenai perilaku dalam organisasi, yaitu:
1. Perilaku ditentukan oleh kombinasi antara faktor faktor yang terdapat dalam diri orang dan faktor-faktor yang terdapat di lingkungan.
2. Perilaku orang dalam organisasi merupakan tindakan sadar dari seseorang, dengan kata lain perilaku seseorang adalah hasi dari sebuah keputusan yang sudah diperhitungkanoleh orang tersebut.
3. Orang mempunyai kebutuhan, keinginan dan tujuan yang berbeda.
4. Orang memilih satu dari beberapa alternatif perilaku berdasarkan besarnya harapan memperoleh hasil dari sebuah perilaku.
Atas dasar asumsi tersebut, Nadler dan Lawler menyusun model harapan yang terdiri dari 3 komponen, yaitu :
1. Harapan kinerja-hasil. Orang mengharapkan sesuatu dari perilakunya. Harapan ini kemudian mempengaruhi keputusannya untuk memilih perilaku tertentu.
2. Daya motivasi. Hasil dari sebuah perilaku mempunyai kekuatan untuk menggerakkan motivasi. Dampak daya motivasi untuk setiap orang tidak sama.
3. Harapan upaya-kinerja. Antisipasi tentang sulitnya mencapai suatu hasil mempengaruhi orang untuk memilih alternatif perilaku.
Keselarasan Tujuan
Orang akan bersedia untuk mencapai tujuan organisasi, kalau dengan mencapai tujuan tersebut tujuannya sendiri juga tercapai. Oleh karena itu, manajemen harus membuat sistem yang mendorong orang untuk mencapai dua macam tujuan sekaligus. Kalau ini dapat dilakukan, maka terdapat keselarasan tujuan.
Faktor informal yang mempengaruhi keselarasan tujuan ada dua garis besar, yaitu pada faktor eksternal dengan adanya norma norma mengenai perilaku yang diharapkan masyarakat dimana organisasi menjadi bagiannya. Sedang pada faktor internal yaitu adanya budaya, gaya manajemen, orgaanisasi informal, dan persepsi dan komunikasi.
Praktik untuk Meningkatkan Motivasi Kerja
Motivasi kerja dapat ditingkatkan melalui pendekatan yang berorientasi manusia. Pendekatan tersebut terdiri dari pokok-pokok fikiran seperti berikut:
1. menjunjung harga diri pegawai.
2. mengadakan latihan yang lengkap bagi pegawai.
3. mendorong pegawai untuk berinisiatif dan kreatif dalam melaksanakan tugas.
4. menetapkan target yang layak dan jelas.
5. menggunakan pahala dan hukuman sebagai alat untuk mendorong prestasi.
6. membebani atasan dengan tanggung jawab atas pengembangan bawahannya.
7. memberi kesempatan pada pegawai untuk berprestasi tinggi
1. Teori Hirarki Kebutuhan.
Teori ini diciptakan Maslow yang menjadi populer dikalangan manajemen karena teori ini menggolongkan kebutuhan manusia secara mudah tetapi logis. Menurut Maslow, motivasi orang merupakan hirarki dari lima kebutuhan yang berbentuk piramid. Pada setiap saat orang termotivasi untuk memenuhi kebutuhan yang dirasakan paling mendesak pada saat itu. Hirarki kebutuhan tersebut adalah sebagai berikut:
Hirarki Jenis Kebutuhan
5 Perkembangan pribadi
4 Mampu mengerjakan pekerjaan dengan baik, status dan pengakuan
3 Menjadi bagian dari organisasi
2 Lingkungan kerja yang aman, kontinyuitas pekerjaan, peraturan yang pasti, bebas dari ancaman dan kesewenangan
1 Fisik
Menurut Maslow, sebelum memenuhi kebutuhan yang hirarkinya lebih tinggi, kebutuhan yang lebih rendah harus terpenuhi terlebih dahulu. Sedang kebutuhan hirarki setiap orang tidak sama dan perbedaannya terlalu jauh.
1. Teori Harapan.
Teori ini diciptakan oleh David Nadler dan Edward Lawler yang didasarkan pada empat asumsi mengenai perilaku dalam organisasi, yaitu:
1. Perilaku ditentukan oleh kombinasi antara faktor faktor yang terdapat dalam diri orang dan faktor-faktor yang terdapat di lingkungan.
2. Perilaku orang dalam organisasi merupakan tindakan sadar dari seseorang, dengan kata lain perilaku seseorang adalah hasi dari sebuah keputusan yang sudah diperhitungkanoleh orang tersebut.
3. Orang mempunyai kebutuhan, keinginan dan tujuan yang berbeda.
4. Orang memilih satu dari beberapa alternatif perilaku berdasarkan besarnya harapan memperoleh hasil dari sebuah perilaku.
Atas dasar asumsi tersebut, Nadler dan Lawler menyusun model harapan yang terdiri dari 3 komponen, yaitu :
1. Harapan kinerja-hasil. Orang mengharapkan sesuatu dari perilakunya. Harapan ini kemudian mempengaruhi keputusannya untuk memilih perilaku tertentu.
2. Daya motivasi. Hasil dari sebuah perilaku mempunyai kekuatan untuk menggerakkan motivasi. Dampak daya motivasi untuk setiap orang tidak sama.
3. Harapan upaya-kinerja. Antisipasi tentang sulitnya mencapai suatu hasil mempengaruhi orang untuk memilih alternatif perilaku.
Keselarasan Tujuan
Orang akan bersedia untuk mencapai tujuan organisasi, kalau dengan mencapai tujuan tersebut tujuannya sendiri juga tercapai. Oleh karena itu, manajemen harus membuat sistem yang mendorong orang untuk mencapai dua macam tujuan sekaligus. Kalau ini dapat dilakukan, maka terdapat keselarasan tujuan.
Faktor informal yang mempengaruhi keselarasan tujuan ada dua garis besar, yaitu pada faktor eksternal dengan adanya norma norma mengenai perilaku yang diharapkan masyarakat dimana organisasi menjadi bagiannya. Sedang pada faktor internal yaitu adanya budaya, gaya manajemen, orgaanisasi informal, dan persepsi dan komunikasi.
Praktik untuk Meningkatkan Motivasi Kerja
Motivasi kerja dapat ditingkatkan melalui pendekatan yang berorientasi manusia. Pendekatan tersebut terdiri dari pokok-pokok fikiran seperti berikut:
1. menjunjung harga diri pegawai.
2. mengadakan latihan yang lengkap bagi pegawai.
3. mendorong pegawai untuk berinisiatif dan kreatif dalam melaksanakan tugas.
4. menetapkan target yang layak dan jelas.
5. menggunakan pahala dan hukuman sebagai alat untuk mendorong prestasi.
6. membebani atasan dengan tanggung jawab atas pengembangan bawahannya.
7. memberi kesempatan pada pegawai untuk berprestasi tinggi
Sabtu, 13 Agustus 2011
FRAMEWORK PERENCANAAN TENAGA KEPERAWATAN
by Udin
A. Kebijakan Dan Perencanaan
Keterlibatan perawat dalam perumusan kebijakan dan perencanaan program
• Semua kebijakan kesehatan dan program mempengaruhi perawat
• Perawat secara langsung dipengaruhi oleh perubahan pada kebijakan kesehatan
• Keterlibatan perawat membantu percepatan perkembangan profesi keperawatan, termasuk kapasitas dalam bekerjasama secara konstruktif dalam sistem kesehatan
Rencana strategik keperawatan (dokumen kebijakan) sebagai bagian integral dari sistem pengembangan pelayanan kesehatan.
• Memberikan arah yang jelas untuk perkembangan SDM Keperawatan dengan pendekatan terstruktur dan POA yang spesifik serta kerjasama lintas sektor, lintas profesi dsb
• Mekanisme utama untuk pengembangan keperawatan pada suatu negara melalui pembentukan focal point (Direktorat Keperawatan), Badan Regulatori/Konsil
• Keterpaduan upaya pengembangan SDM (keterpaduan perencanaan SDM dengan pelayanan, perencanaan untuk SDM terintegrasi misal tim multidisiplin, keterpaduan proses perencanaan lintas disiplin, wilayah dan sektor)
Rencana dan kebijakan terkait dengan sumber dan finansial
• Meningkatkan efisiensi sumber dan cost containtment
• SDM merupakan investment
• Pengembalian investment memerlukan penanaman/ penggunaan finansial awal yang memadai
B. Pendidikan, Pelatihan dan Pengembangan
• Koordinasi antara pendidikan dan pelayanan
• Rekruitmen calon mahasiswa keperawatan
Rekruitmen calon mahasiswa keperawatan tidak hanya kuantitasnya saja, tetapi kualitas calon mahasiswa keperawatan juga sangat penting. Perekruitan sering pada orang-orang yang mempunyai bakat pada keperawatan/kebidanan yang menjadi meningkatnya kepentingan dan tidak hanya pada satu fokus saja. Strategi harus dikembangkan pada calon mahasiswa yang tidak mampu dari golongan sosial ekonomi rendah, yang mempunyai kualitas yang potensial sebagai perawat dan bidan (WHO, 2003).
• Pendidikan berdasarkan kompetensi
Burns menyatakan bahwa pendidikan berbasis kompetensi menguraikan perilaku nyata yang dituntut melalui peserta didik. Perilaku nyata ini sering disebut Obyektif Perilaku Terminal (OPT). Burns juga menyatakan bahwa objektif perilaku terminal adalah pernyataan secara jelas dan tertulis yang ekspresikan dari pandangan peserta didik yang menggambarkan perilaku nyata (dan kondisi dimana perilaku akan dijalankan) peserta didik yaitu untuk menunjukkan pada kahir periode instruksi. Obyektif perilaku terminal adalah pandangan ringkas, khusus yang diekspresikan dari pandangan peserta didik dan gambaran perilaku (Swansburg RC, 2001).
Obyektif perilaku terminal memerlukan tes kriteria referensi yang mengukur pemenuhan obyektif program. meskipun obyektif bukan jawaban untuk semua gambaran pendidikan, waktu yang digunakan dalam pengembangan OPT adalah bermanfaat (Swansburg RC, 2001).
Tiga elemen penting tentang obyektif kriteria yang berpusat pada peserta didik (Swansburg RC, 2001):
1. Kondisi: suatu deskripsi tenang pengujian lingkunngan yang mencakup masalah, materi dan bahan yang akan diberikan atau secara khusus ditiadakan dari pengukuran.
2. Kinerja: Perilaku peserta didik yang dapat diamati (atau produk dari perilaku tersebut) yang dapat diteima untuk instruktor sebagai bukti bahwa pembelajaran telah terjadi.
3. Standar: kriteria kualitatif dan kuantitatif terhadap kinerja peserta didik atau produk dimana kinerja akan diukur untuk menentukan keberhasilan pembelajaran.
Terdapat hirarkis tentang obyektif seperti didefinisikan dalam tiga taksonomi obyektif pendidikan yaitu kognitif, afektif dan psikomotor. Pada domain kognitif, hirarkis mencakup perilaku obyektif yang sesuai dengan ingatan atau pengenalan tentang pengetahuan dan pengembangan kemampuan dan ketrampilan intelektual. Domain afektif mempunyai obyektif yang menekankan perasaan dan emosi, seperti nilai, minat, apresiasi dan sikap. Domain psikomotor mempunyai obyektif yang menekankan ketrampilan motorik seperti melakukan, mempraktikkan dan mendemonstrasikan (Swansburg RC, 2001).
Karakteristik lain tentang obyektif adalah sebagai berikut (Swansburg RC, 2001):
a) Karakteristik dapat langsung diukur, dinilai atau diverifikasi.
b) Karakteristik adalah analitis dan tidak terbatas pada perilaku kognitif tingkat rendah.
c) Karakteristik dengan jelas dan secara singkat dinyatakan. Karakteristik menyatakan kondisi dimana peserta didik akan melakukan tugasnya.
d) Karakteristik adalah realistis dalam istilah manusia dan sumber daya fisik serta kemampuan.
e) Karakteristik mengarahkan penggunaan sumber daya melalui aktifitas instruksional.
f) Karakteristik dapat diterima atau praktis.
g) Karakteristik adalah komprehensif.
h) Karakteristik menunjukkan hasil yang diharapkan dari upaya pendidikan dan aktivitas akhir dari kinerja pendidikan.
i) Karakteristik menyatakan tingkat kinerja yang dapat diterima.
j) Karakteristik menunjukkan jaringan kerja peristiwa dan hasil yang diinginkan.
k) Kaakteristik fleksibel dan memungkinkan penyesuaian oleh peserta didik.
l) Karakteristik diketahui peserta didik yang akan menggunakannya.
m) Karakteristik berhubungan dengan kehidupan nyata.
n) Karakteristik ada untuk semua program pendidikan.
• Pembelajaran multidisiplin
• Budaya belajar sepanjang hayat
• Sistem pendidikan berkelanjutan
Pendidikan berkelanjutan adalah gagasan dimana pendidikan berlanjut setelah pendidikan profesional pra pelayanan. Pengetahuan dan teknologi tahap lanjut pada skala kontinu dan menuntut orang tersebut dalam melanjutkan profesi untuk mengembangkan pengetahuan dan ketrampilan yang berhubungan dengan teknologi tahap lanjut. Dalam keperawatan teknologi ini dihubungkan dengan perawatan pasien. Perawat profesional harus melanjutkan pendidikan dengan sasaran menjadi mampu memberikan asuhan keperawatan efektif yang paling baru (Swansburg RC, 2001).
Pendidikan berkelanjutan didefinisikan oleh ANA adalah aktivitas pendidikan yang direncanakan bertujuan untuk membangun dasar pendidikan dan pengalaman dari perawat profesional untuk meningkatkan praktik, pendidikan, adminsitrasi, penelitian atau pengambangan teori sampai akhirnya perbaikan kesehatan masyarakat (Swansburg RC, 2001).
C. Penempatan Dan Utilisasi
• Keterampilan dan kompetensi komplementer
• Infrastruktur keperawatan yang relevan
• Manajemen dan kepemimpinan yang efektif
• Kondisi kerja yang memadai dan pekerjaan yang terorganisasi secara efisien
• Sistem supervisi teknis
• Kesempatan pengembangan karir
Pengembangan staf sedang bergerak naik dari orientasi tipikal dan pendidikan dalam pelayanan, yang menekankan pendidikan berkelanjutan pada tingkat yang lebih tinggi dan menguasai perkembangan karir. Bila pengembangan staf untuk mendapatkan kinerja terbaik dari setiap orang, eksekutif kepala dan kepala departemen harus mengakui bahwa setiap karyawan mempunyai sasaran karir dan impian-impian. Suatu tekanan organisasi harus disusun yang menekankan stabilitas, sensitivitas dan perhatian pada pertumbuhan dan perkembangan setiap karyawan (Swansburg RC, 2001).
Pengembangan staf diselesaikan dengan cara yang lebih terfragmentasi oleh kebanyakan manajer pendidikan dan administratif. Departemen tertentu sering mengontrol kebijakan dan pembayaran biaya perkuliahan, jenjang karir sering dikelola oelh administrasi keperawatan dengan beberapa bantuan dari pendidikan (Swansburg RC, 2001).
Sistem keseluruhan untuk pengembangan staf dapat direncanakan dan diprogramkan, dengan staf yang ada sebagai masukan, pengembangan karir dalam berbagai dimensi sebagai proses pemindahan, dan tingkat pencapaian yang diharapkan sebagai keluaran. Interaksi dengan lingkungan praktik akan terus berlanjut. Perubahan dan umpan balik evaluatif dapat memasukkan kembali sistem pada titik manapun (Swansburg RC, 2001).
Sovie telah menggambarkan peran pengembangan staf dalam mengembangkan karir keperawatan profesional di rumah sakit. Ia mengembangkan model untuk perawat profesional yang dapat dengan mudah diadaptasi untuk penggunaan dalam sistem yang direncanakan atau sistem yang ada. Tiga fase dalam pengembangan perawat adalah sbb (Swansburg RC, 2001):
1) Identifikasi profesional, dimana individu terorientasi pada karir.
2) Maturasi profesional, dimana potensial terhadap perkembangan dan perluasan kompetensi dikenali.
3) Penguasaan profesional, dimana potensial terhadap aktualisasi diri dicapai.
• Sistem insentif
Sistem insentif ekonomi tertentu dapat diterapkan pada hampir semua pekerjaan apapun. Gagasan pokoknya adalah meragamkan bayaran pegawai sesuai dengan kriteria prestasi individu, kelompok atau organisasi (David K & Newstrom JW, 1985).
Insentif yang berhasil dapat menimbulkan imbalan psikologis dan juga imbalan ekonomi. Ada perasaan puas yang timbul dari penyelesaian pekerjaan yang dilakukan dengan baik. Citra diri mungkin meningkat karena perasaan kompeten.
Kelemahan insentif upah adalah sebagai berikut (David K & Newstrom JW, 1985):
a) Insentif upah biasanya mensyaratkan penetapan standar prestasi.
b) Insentif upah dapat memperumit pekerjaan para penyelia.
c) Masalah yang sulit dengan insentif upah adalah goyahnya harkat.
d) Insentif upah dapat menimbulkan ketidakharmonisan antara karyawan insentif dengan karyawan jam-jaman.
• Kepuasan kerja
Faktor yang mempengaruhi penampilan dan kepuasan kerja adalah (Nursalam, 2002) :
1) Motivasi
Menurut Rowlan & Rowland dalam Nursalam (2002) fungsi manajer dalam meningkatkan kepuasan kerja staf didasarkan pada faktor-faktor motivasi, yang meliputi:
- Keinginan untuk peningkatan.
- Percaya bahwa gaji yang didapatkan sudah mencukupi.
- Memiliki kemampuan pengetahuan, ketrampilan dan nilai-nilai yang diperlukan.
- Umpan balik
- Kesempatan untuk mencoba.
- Instrumen penampilan untuk promosi, kerjasama dan peningkatan penghasilan.
2) Lingkungan
Faktor lingkungan juga memegang peranan penting dalam motivasi. Faktor lingkungan tersebut dapat meliputi:
a) Komunikasi
- Penghargaan terhadap usaha yang telah dilaksanakan.
- Pengetahuan tentang kegiatan organisasi
- Rasa pecaya diri berhubungan dengan manajemen organisasi
b) Potensial pertumbuhan
- Kesempatan untuk berkembang, karir dan promosi
- Dukungan untuk tumbuh dan berkembang: pelatihan, beasiswa untuk melanjutkan pendidikan, pelatihan manajemen bagi staf yang dipromosikan.
c) Kebijaksanaan individu
- Mengakomodasi kebutuhan individu: jadwal kerja, liburan dan cuti sakit serta pembiayaannya.
- Keamanan pekerjaan
- Loyalitas organisasi terhadap staf
- Menghargai staf: agama, latar belakang
- Adil dan konsisten terhadap eputusan organisasi.
d) Upah/gaji
- Gaji yang cukup untuk kebutuhan hidup.
e) Kondisi kerja yang kondusif
3) Peran manajer
Ada dua belas kunci utama dalam kepuasan menurut Rowland & Rowland (Nursalam, 2002) :
a) Input
b) Hubungan manajer dan staf
c) Disiplin kerja
d) Lingkungan tempat kerja
e) Istirahat dan makan yang cukup
f) Diskriminasi
g) Kepuasan kerja
h) Penghargaan penampilan
i) Klarifikasi kebijaksanaan, prosedur dan keuntungan
j) Mendapatkan kesempatan
k) Pengambilan keputusan
l) Gaya manajer.
DAFTAR PUSTAKA
Swansburg, RC. 2001. Pengembangan staf keperawatan: suatu komponen pengembangan SDM. Alih bahasa Agung Waluyo, Yasmin Asih. Edisi 1. EGC: Jakarta.
Nursalam. 2002. Manajemen keperawatan: aplikasi dalam praktik keperawatan profesional. Edisi 1. Salemba Medika: Jakarta.
Davis K & Newstrom JW. 1985. Perilaku dalam organisasi. Jilid 1. Edisi 7. Alih bahasa Agus Dharma. Penerbit Erlangga: Jakarta.
WHO. 2003. Nursing and midwifery workforce management: conceptual and framework. WHO Regional office for south east asia: India
A. Kebijakan Dan Perencanaan
Keterlibatan perawat dalam perumusan kebijakan dan perencanaan program
• Semua kebijakan kesehatan dan program mempengaruhi perawat
• Perawat secara langsung dipengaruhi oleh perubahan pada kebijakan kesehatan
• Keterlibatan perawat membantu percepatan perkembangan profesi keperawatan, termasuk kapasitas dalam bekerjasama secara konstruktif dalam sistem kesehatan
Rencana strategik keperawatan (dokumen kebijakan) sebagai bagian integral dari sistem pengembangan pelayanan kesehatan.
• Memberikan arah yang jelas untuk perkembangan SDM Keperawatan dengan pendekatan terstruktur dan POA yang spesifik serta kerjasama lintas sektor, lintas profesi dsb
• Mekanisme utama untuk pengembangan keperawatan pada suatu negara melalui pembentukan focal point (Direktorat Keperawatan), Badan Regulatori/Konsil
• Keterpaduan upaya pengembangan SDM (keterpaduan perencanaan SDM dengan pelayanan, perencanaan untuk SDM terintegrasi misal tim multidisiplin, keterpaduan proses perencanaan lintas disiplin, wilayah dan sektor)
Rencana dan kebijakan terkait dengan sumber dan finansial
• Meningkatkan efisiensi sumber dan cost containtment
• SDM merupakan investment
• Pengembalian investment memerlukan penanaman/ penggunaan finansial awal yang memadai
B. Pendidikan, Pelatihan dan Pengembangan
• Koordinasi antara pendidikan dan pelayanan
• Rekruitmen calon mahasiswa keperawatan
Rekruitmen calon mahasiswa keperawatan tidak hanya kuantitasnya saja, tetapi kualitas calon mahasiswa keperawatan juga sangat penting. Perekruitan sering pada orang-orang yang mempunyai bakat pada keperawatan/kebidanan yang menjadi meningkatnya kepentingan dan tidak hanya pada satu fokus saja. Strategi harus dikembangkan pada calon mahasiswa yang tidak mampu dari golongan sosial ekonomi rendah, yang mempunyai kualitas yang potensial sebagai perawat dan bidan (WHO, 2003).
• Pendidikan berdasarkan kompetensi
Burns menyatakan bahwa pendidikan berbasis kompetensi menguraikan perilaku nyata yang dituntut melalui peserta didik. Perilaku nyata ini sering disebut Obyektif Perilaku Terminal (OPT). Burns juga menyatakan bahwa objektif perilaku terminal adalah pernyataan secara jelas dan tertulis yang ekspresikan dari pandangan peserta didik yang menggambarkan perilaku nyata (dan kondisi dimana perilaku akan dijalankan) peserta didik yaitu untuk menunjukkan pada kahir periode instruksi. Obyektif perilaku terminal adalah pandangan ringkas, khusus yang diekspresikan dari pandangan peserta didik dan gambaran perilaku (Swansburg RC, 2001).
Obyektif perilaku terminal memerlukan tes kriteria referensi yang mengukur pemenuhan obyektif program. meskipun obyektif bukan jawaban untuk semua gambaran pendidikan, waktu yang digunakan dalam pengembangan OPT adalah bermanfaat (Swansburg RC, 2001).
Tiga elemen penting tentang obyektif kriteria yang berpusat pada peserta didik (Swansburg RC, 2001):
1. Kondisi: suatu deskripsi tenang pengujian lingkunngan yang mencakup masalah, materi dan bahan yang akan diberikan atau secara khusus ditiadakan dari pengukuran.
2. Kinerja: Perilaku peserta didik yang dapat diamati (atau produk dari perilaku tersebut) yang dapat diteima untuk instruktor sebagai bukti bahwa pembelajaran telah terjadi.
3. Standar: kriteria kualitatif dan kuantitatif terhadap kinerja peserta didik atau produk dimana kinerja akan diukur untuk menentukan keberhasilan pembelajaran.
Terdapat hirarkis tentang obyektif seperti didefinisikan dalam tiga taksonomi obyektif pendidikan yaitu kognitif, afektif dan psikomotor. Pada domain kognitif, hirarkis mencakup perilaku obyektif yang sesuai dengan ingatan atau pengenalan tentang pengetahuan dan pengembangan kemampuan dan ketrampilan intelektual. Domain afektif mempunyai obyektif yang menekankan perasaan dan emosi, seperti nilai, minat, apresiasi dan sikap. Domain psikomotor mempunyai obyektif yang menekankan ketrampilan motorik seperti melakukan, mempraktikkan dan mendemonstrasikan (Swansburg RC, 2001).
Karakteristik lain tentang obyektif adalah sebagai berikut (Swansburg RC, 2001):
a) Karakteristik dapat langsung diukur, dinilai atau diverifikasi.
b) Karakteristik adalah analitis dan tidak terbatas pada perilaku kognitif tingkat rendah.
c) Karakteristik dengan jelas dan secara singkat dinyatakan. Karakteristik menyatakan kondisi dimana peserta didik akan melakukan tugasnya.
d) Karakteristik adalah realistis dalam istilah manusia dan sumber daya fisik serta kemampuan.
e) Karakteristik mengarahkan penggunaan sumber daya melalui aktifitas instruksional.
f) Karakteristik dapat diterima atau praktis.
g) Karakteristik adalah komprehensif.
h) Karakteristik menunjukkan hasil yang diharapkan dari upaya pendidikan dan aktivitas akhir dari kinerja pendidikan.
i) Karakteristik menyatakan tingkat kinerja yang dapat diterima.
j) Karakteristik menunjukkan jaringan kerja peristiwa dan hasil yang diinginkan.
k) Kaakteristik fleksibel dan memungkinkan penyesuaian oleh peserta didik.
l) Karakteristik diketahui peserta didik yang akan menggunakannya.
m) Karakteristik berhubungan dengan kehidupan nyata.
n) Karakteristik ada untuk semua program pendidikan.
• Pembelajaran multidisiplin
• Budaya belajar sepanjang hayat
• Sistem pendidikan berkelanjutan
Pendidikan berkelanjutan adalah gagasan dimana pendidikan berlanjut setelah pendidikan profesional pra pelayanan. Pengetahuan dan teknologi tahap lanjut pada skala kontinu dan menuntut orang tersebut dalam melanjutkan profesi untuk mengembangkan pengetahuan dan ketrampilan yang berhubungan dengan teknologi tahap lanjut. Dalam keperawatan teknologi ini dihubungkan dengan perawatan pasien. Perawat profesional harus melanjutkan pendidikan dengan sasaran menjadi mampu memberikan asuhan keperawatan efektif yang paling baru (Swansburg RC, 2001).
Pendidikan berkelanjutan didefinisikan oleh ANA adalah aktivitas pendidikan yang direncanakan bertujuan untuk membangun dasar pendidikan dan pengalaman dari perawat profesional untuk meningkatkan praktik, pendidikan, adminsitrasi, penelitian atau pengambangan teori sampai akhirnya perbaikan kesehatan masyarakat (Swansburg RC, 2001).
C. Penempatan Dan Utilisasi
• Keterampilan dan kompetensi komplementer
• Infrastruktur keperawatan yang relevan
• Manajemen dan kepemimpinan yang efektif
• Kondisi kerja yang memadai dan pekerjaan yang terorganisasi secara efisien
• Sistem supervisi teknis
• Kesempatan pengembangan karir
Pengembangan staf sedang bergerak naik dari orientasi tipikal dan pendidikan dalam pelayanan, yang menekankan pendidikan berkelanjutan pada tingkat yang lebih tinggi dan menguasai perkembangan karir. Bila pengembangan staf untuk mendapatkan kinerja terbaik dari setiap orang, eksekutif kepala dan kepala departemen harus mengakui bahwa setiap karyawan mempunyai sasaran karir dan impian-impian. Suatu tekanan organisasi harus disusun yang menekankan stabilitas, sensitivitas dan perhatian pada pertumbuhan dan perkembangan setiap karyawan (Swansburg RC, 2001).
Pengembangan staf diselesaikan dengan cara yang lebih terfragmentasi oleh kebanyakan manajer pendidikan dan administratif. Departemen tertentu sering mengontrol kebijakan dan pembayaran biaya perkuliahan, jenjang karir sering dikelola oelh administrasi keperawatan dengan beberapa bantuan dari pendidikan (Swansburg RC, 2001).
Sistem keseluruhan untuk pengembangan staf dapat direncanakan dan diprogramkan, dengan staf yang ada sebagai masukan, pengembangan karir dalam berbagai dimensi sebagai proses pemindahan, dan tingkat pencapaian yang diharapkan sebagai keluaran. Interaksi dengan lingkungan praktik akan terus berlanjut. Perubahan dan umpan balik evaluatif dapat memasukkan kembali sistem pada titik manapun (Swansburg RC, 2001).
Sovie telah menggambarkan peran pengembangan staf dalam mengembangkan karir keperawatan profesional di rumah sakit. Ia mengembangkan model untuk perawat profesional yang dapat dengan mudah diadaptasi untuk penggunaan dalam sistem yang direncanakan atau sistem yang ada. Tiga fase dalam pengembangan perawat adalah sbb (Swansburg RC, 2001):
1) Identifikasi profesional, dimana individu terorientasi pada karir.
2) Maturasi profesional, dimana potensial terhadap perkembangan dan perluasan kompetensi dikenali.
3) Penguasaan profesional, dimana potensial terhadap aktualisasi diri dicapai.
• Sistem insentif
Sistem insentif ekonomi tertentu dapat diterapkan pada hampir semua pekerjaan apapun. Gagasan pokoknya adalah meragamkan bayaran pegawai sesuai dengan kriteria prestasi individu, kelompok atau organisasi (David K & Newstrom JW, 1985).
Insentif yang berhasil dapat menimbulkan imbalan psikologis dan juga imbalan ekonomi. Ada perasaan puas yang timbul dari penyelesaian pekerjaan yang dilakukan dengan baik. Citra diri mungkin meningkat karena perasaan kompeten.
Kelemahan insentif upah adalah sebagai berikut (David K & Newstrom JW, 1985):
a) Insentif upah biasanya mensyaratkan penetapan standar prestasi.
b) Insentif upah dapat memperumit pekerjaan para penyelia.
c) Masalah yang sulit dengan insentif upah adalah goyahnya harkat.
d) Insentif upah dapat menimbulkan ketidakharmonisan antara karyawan insentif dengan karyawan jam-jaman.
• Kepuasan kerja
Faktor yang mempengaruhi penampilan dan kepuasan kerja adalah (Nursalam, 2002) :
1) Motivasi
Menurut Rowlan & Rowland dalam Nursalam (2002) fungsi manajer dalam meningkatkan kepuasan kerja staf didasarkan pada faktor-faktor motivasi, yang meliputi:
- Keinginan untuk peningkatan.
- Percaya bahwa gaji yang didapatkan sudah mencukupi.
- Memiliki kemampuan pengetahuan, ketrampilan dan nilai-nilai yang diperlukan.
- Umpan balik
- Kesempatan untuk mencoba.
- Instrumen penampilan untuk promosi, kerjasama dan peningkatan penghasilan.
2) Lingkungan
Faktor lingkungan juga memegang peranan penting dalam motivasi. Faktor lingkungan tersebut dapat meliputi:
a) Komunikasi
- Penghargaan terhadap usaha yang telah dilaksanakan.
- Pengetahuan tentang kegiatan organisasi
- Rasa pecaya diri berhubungan dengan manajemen organisasi
b) Potensial pertumbuhan
- Kesempatan untuk berkembang, karir dan promosi
- Dukungan untuk tumbuh dan berkembang: pelatihan, beasiswa untuk melanjutkan pendidikan, pelatihan manajemen bagi staf yang dipromosikan.
c) Kebijaksanaan individu
- Mengakomodasi kebutuhan individu: jadwal kerja, liburan dan cuti sakit serta pembiayaannya.
- Keamanan pekerjaan
- Loyalitas organisasi terhadap staf
- Menghargai staf: agama, latar belakang
- Adil dan konsisten terhadap eputusan organisasi.
d) Upah/gaji
- Gaji yang cukup untuk kebutuhan hidup.
e) Kondisi kerja yang kondusif
3) Peran manajer
Ada dua belas kunci utama dalam kepuasan menurut Rowland & Rowland (Nursalam, 2002) :
a) Input
b) Hubungan manajer dan staf
c) Disiplin kerja
d) Lingkungan tempat kerja
e) Istirahat dan makan yang cukup
f) Diskriminasi
g) Kepuasan kerja
h) Penghargaan penampilan
i) Klarifikasi kebijaksanaan, prosedur dan keuntungan
j) Mendapatkan kesempatan
k) Pengambilan keputusan
l) Gaya manajer.
DAFTAR PUSTAKA
Swansburg, RC. 2001. Pengembangan staf keperawatan: suatu komponen pengembangan SDM. Alih bahasa Agung Waluyo, Yasmin Asih. Edisi 1. EGC: Jakarta.
Nursalam. 2002. Manajemen keperawatan: aplikasi dalam praktik keperawatan profesional. Edisi 1. Salemba Medika: Jakarta.
Davis K & Newstrom JW. 1985. Perilaku dalam organisasi. Jilid 1. Edisi 7. Alih bahasa Agus Dharma. Penerbit Erlangga: Jakarta.
WHO. 2003. Nursing and midwifery workforce management: conceptual and framework. WHO Regional office for south east asia: India
FRAMEWORK PERENCANAAN TENAGA KEPERAWATAN
by Udin
A. Kebijakan Dan Perencanaan
Keterlibatan perawat dalam perumusan kebijakan dan perencanaan program
• Semua kebijakan kesehatan dan program mempengaruhi perawat
• Perawat secara langsung dipengaruhi oleh perubahan pada kebijakan kesehatan
• Keterlibatan perawat membantu percepatan perkembangan profesi keperawatan, termasuk kapasitas dalam bekerjasama secara konstruktif dalam sistem kesehatan
Rencana strategik keperawatan (dokumen kebijakan) sebagai bagian integral dari sistem pengembangan pelayanan kesehatan.
• Memberikan arah yang jelas untuk perkembangan SDM Keperawatan dengan pendekatan terstruktur dan POA yang spesifik serta kerjasama lintas sektor, lintas profesi dsb
• Mekanisme utama untuk pengembangan keperawatan pada suatu negara melalui pembentukan focal point (Direktorat Keperawatan), Badan Regulatori/Konsil
• Keterpaduan upaya pengembangan SDM (keterpaduan perencanaan SDM dengan pelayanan, perencanaan untuk SDM terintegrasi misal tim multidisiplin, keterpaduan proses perencanaan lintas disiplin, wilayah dan sektor)
Rencana dan kebijakan terkait dengan sumber dan finansial
• Meningkatkan efisiensi sumber dan cost containtment
• SDM merupakan investment
• Pengembalian investment memerlukan penanaman/ penggunaan finansial awal yang memadai
B. Pendidikan, Pelatihan dan Pengembangan
• Koordinasi antara pendidikan dan pelayanan
• Rekruitmen calon mahasiswa keperawatan
Rekruitmen calon mahasiswa keperawatan tidak hanya kuantitasnya saja, tetapi kualitas calon mahasiswa keperawatan juga sangat penting. Perekruitan sering pada orang-orang yang mempunyai bakat pada keperawatan/kebidanan yang menjadi meningkatnya kepentingan dan tidak hanya pada satu fokus saja. Strategi harus dikembangkan pada calon mahasiswa yang tidak mampu dari golongan sosial ekonomi rendah, yang mempunyai kualitas yang potensial sebagai perawat dan bidan (WHO, 2003).
• Pendidikan berdasarkan kompetensi
Burns menyatakan bahwa pendidikan berbasis kompetensi menguraikan perilaku nyata yang dituntut melalui peserta didik. Perilaku nyata ini sering disebut Obyektif Perilaku Terminal (OPT). Burns juga menyatakan bahwa objektif perilaku terminal adalah pernyataan secara jelas dan tertulis yang ekspresikan dari pandangan peserta didik yang menggambarkan perilaku nyata (dan kondisi dimana perilaku akan dijalankan) peserta didik yaitu untuk menunjukkan pada kahir periode instruksi. Obyektif perilaku terminal adalah pandangan ringkas, khusus yang diekspresikan dari pandangan peserta didik dan gambaran perilaku (Swansburg RC, 2001).
Obyektif perilaku terminal memerlukan tes kriteria referensi yang mengukur pemenuhan obyektif program. meskipun obyektif bukan jawaban untuk semua gambaran pendidikan, waktu yang digunakan dalam pengembangan OPT adalah bermanfaat (Swansburg RC, 2001).
Tiga elemen penting tentang obyektif kriteria yang berpusat pada peserta didik (Swansburg RC, 2001):
1. Kondisi: suatu deskripsi tenang pengujian lingkunngan yang mencakup masalah, materi dan bahan yang akan diberikan atau secara khusus ditiadakan dari pengukuran.
2. Kinerja: Perilaku peserta didik yang dapat diamati (atau produk dari perilaku tersebut) yang dapat diteima untuk instruktor sebagai bukti bahwa pembelajaran telah terjadi.
3. Standar: kriteria kualitatif dan kuantitatif terhadap kinerja peserta didik atau produk dimana kinerja akan diukur untuk menentukan keberhasilan pembelajaran.
Terdapat hirarkis tentang obyektif seperti didefinisikan dalam tiga taksonomi obyektif pendidikan yaitu kognitif, afektif dan psikomotor. Pada domain kognitif, hirarkis mencakup perilaku obyektif yang sesuai dengan ingatan atau pengenalan tentang pengetahuan dan pengembangan kemampuan dan ketrampilan intelektual. Domain afektif mempunyai obyektif yang menekankan perasaan dan emosi, seperti nilai, minat, apresiasi dan sikap. Domain psikomotor mempunyai obyektif yang menekankan ketrampilan motorik seperti melakukan, mempraktikkan dan mendemonstrasikan (Swansburg RC, 2001).
Karakteristik lain tentang obyektif adalah sebagai berikut (Swansburg RC, 2001):
a) Karakteristik dapat langsung diukur, dinilai atau diverifikasi.
b) Karakteristik adalah analitis dan tidak terbatas pada perilaku kognitif tingkat rendah.
c) Karakteristik dengan jelas dan secara singkat dinyatakan. Karakteristik menyatakan kondisi dimana peserta didik akan melakukan tugasnya.
d) Karakteristik adalah realistis dalam istilah manusia dan sumber daya fisik serta kemampuan.
e) Karakteristik mengarahkan penggunaan sumber daya melalui aktifitas instruksional.
f) Karakteristik dapat diterima atau praktis.
g) Karakteristik adalah komprehensif.
h) Karakteristik menunjukkan hasil yang diharapkan dari upaya pendidikan dan aktivitas akhir dari kinerja pendidikan.
i) Karakteristik menyatakan tingkat kinerja yang dapat diterima.
j) Karakteristik menunjukkan jaringan kerja peristiwa dan hasil yang diinginkan.
k) Kaakteristik fleksibel dan memungkinkan penyesuaian oleh peserta didik.
l) Karakteristik diketahui peserta didik yang akan menggunakannya.
m) Karakteristik berhubungan dengan kehidupan nyata.
n) Karakteristik ada untuk semua program pendidikan.
• Pembelajaran multidisiplin
• Budaya belajar sepanjang hayat
• Sistem pendidikan berkelanjutan
Pendidikan berkelanjutan adalah gagasan dimana pendidikan berlanjut setelah pendidikan profesional pra pelayanan. Pengetahuan dan teknologi tahap lanjut pada skala kontinu dan menuntut orang tersebut dalam melanjutkan profesi untuk mengembangkan pengetahuan dan ketrampilan yang berhubungan dengan teknologi tahap lanjut. Dalam keperawatan teknologi ini dihubungkan dengan perawatan pasien. Perawat profesional harus melanjutkan pendidikan dengan sasaran menjadi mampu memberikan asuhan keperawatan efektif yang paling baru (Swansburg RC, 2001).
Pendidikan berkelanjutan didefinisikan oleh ANA adalah aktivitas pendidikan yang direncanakan bertujuan untuk membangun dasar pendidikan dan pengalaman dari perawat profesional untuk meningkatkan praktik, pendidikan, adminsitrasi, penelitian atau pengambangan teori sampai akhirnya perbaikan kesehatan masyarakat (Swansburg RC, 2001).
C. Penempatan Dan Utilisasi
• Keterampilan dan kompetensi komplementer
• Infrastruktur keperawatan yang relevan
• Manajemen dan kepemimpinan yang efektif
• Kondisi kerja yang memadai dan pekerjaan yang terorganisasi secara efisien
• Sistem supervisi teknis
• Kesempatan pengembangan karir
Pengembangan staf sedang bergerak naik dari orientasi tipikal dan pendidikan dalam pelayanan, yang menekankan pendidikan berkelanjutan pada tingkat yang lebih tinggi dan menguasai perkembangan karir. Bila pengembangan staf untuk mendapatkan kinerja terbaik dari setiap orang, eksekutif kepala dan kepala departemen harus mengakui bahwa setiap karyawan mempunyai sasaran karir dan impian-impian. Suatu tekanan organisasi harus disusun yang menekankan stabilitas, sensitivitas dan perhatian pada pertumbuhan dan perkembangan setiap karyawan (Swansburg RC, 2001).
Pengembangan staf diselesaikan dengan cara yang lebih terfragmentasi oleh kebanyakan manajer pendidikan dan administratif. Departemen tertentu sering mengontrol kebijakan dan pembayaran biaya perkuliahan, jenjang karir sering dikelola oelh administrasi keperawatan dengan beberapa bantuan dari pendidikan (Swansburg RC, 2001).
Sistem keseluruhan untuk pengembangan staf dapat direncanakan dan diprogramkan, dengan staf yang ada sebagai masukan, pengembangan karir dalam berbagai dimensi sebagai proses pemindahan, dan tingkat pencapaian yang diharapkan sebagai keluaran. Interaksi dengan lingkungan praktik akan terus berlanjut. Perubahan dan umpan balik evaluatif dapat memasukkan kembali sistem pada titik manapun (Swansburg RC, 2001).
Sovie telah menggambarkan peran pengembangan staf dalam mengembangkan karir keperawatan profesional di rumah sakit. Ia mengembangkan model untuk perawat profesional yang dapat dengan mudah diadaptasi untuk penggunaan dalam sistem yang direncanakan atau sistem yang ada. Tiga fase dalam pengembangan perawat adalah sbb (Swansburg RC, 2001):
1) Identifikasi profesional, dimana individu terorientasi pada karir.
2) Maturasi profesional, dimana potensial terhadap perkembangan dan perluasan kompetensi dikenali.
3) Penguasaan profesional, dimana potensial terhadap aktualisasi diri dicapai.
• Sistem insentif
Sistem insentif ekonomi tertentu dapat diterapkan pada hampir semua pekerjaan apapun. Gagasan pokoknya adalah meragamkan bayaran pegawai sesuai dengan kriteria prestasi individu, kelompok atau organisasi (David K & Newstrom JW, 1985).
Insentif yang berhasil dapat menimbulkan imbalan psikologis dan juga imbalan ekonomi. Ada perasaan puas yang timbul dari penyelesaian pekerjaan yang dilakukan dengan baik. Citra diri mungkin meningkat karena perasaan kompeten.
Kelemahan insentif upah adalah sebagai berikut (David K & Newstrom JW, 1985):
a) Insentif upah biasanya mensyaratkan penetapan standar prestasi.
b) Insentif upah dapat memperumit pekerjaan para penyelia.
c) Masalah yang sulit dengan insentif upah adalah goyahnya harkat.
d) Insentif upah dapat menimbulkan ketidakharmonisan antara karyawan insentif dengan karyawan jam-jaman.
• Kepuasan kerja
Faktor yang mempengaruhi penampilan dan kepuasan kerja adalah (Nursalam, 2002) :
1) Motivasi
Menurut Rowlan & Rowland dalam Nursalam (2002) fungsi manajer dalam meningkatkan kepuasan kerja staf didasarkan pada faktor-faktor motivasi, yang meliputi:
- Keinginan untuk peningkatan.
- Percaya bahwa gaji yang didapatkan sudah mencukupi.
- Memiliki kemampuan pengetahuan, ketrampilan dan nilai-nilai yang diperlukan.
- Umpan balik
- Kesempatan untuk mencoba.
- Instrumen penampilan untuk promosi, kerjasama dan peningkatan penghasilan.
2) Lingkungan
Faktor lingkungan juga memegang peranan penting dalam motivasi. Faktor lingkungan tersebut dapat meliputi:
a) Komunikasi
- Penghargaan terhadap usaha yang telah dilaksanakan.
- Pengetahuan tentang kegiatan organisasi
- Rasa pecaya diri berhubungan dengan manajemen organisasi
b) Potensial pertumbuhan
- Kesempatan untuk berkembang, karir dan promosi
- Dukungan untuk tumbuh dan berkembang: pelatihan, beasiswa untuk melanjutkan pendidikan, pelatihan manajemen bagi staf yang dipromosikan.
c) Kebijaksanaan individu
- Mengakomodasi kebutuhan individu: jadwal kerja, liburan dan cuti sakit serta pembiayaannya.
- Keamanan pekerjaan
- Loyalitas organisasi terhadap staf
- Menghargai staf: agama, latar belakang
- Adil dan konsisten terhadap eputusan organisasi.
d) Upah/gaji
- Gaji yang cukup untuk kebutuhan hidup.
e) Kondisi kerja yang kondusif
3) Peran manajer
Ada dua belas kunci utama dalam kepuasan menurut Rowland & Rowland (Nursalam, 2002) :
a) Input
b) Hubungan manajer dan staf
c) Disiplin kerja
d) Lingkungan tempat kerja
e) Istirahat dan makan yang cukup
f) Diskriminasi
g) Kepuasan kerja
h) Penghargaan penampilan
i) Klarifikasi kebijaksanaan, prosedur dan keuntungan
j) Mendapatkan kesempatan
k) Pengambilan keputusan
l) Gaya manajer.
DAFTAR PUSTAKA
Swansburg, RC. 2001. Pengembangan staf keperawatan: suatu komponen pengembangan SDM. Alih bahasa Agung Waluyo, Yasmin Asih. Edisi 1. EGC: Jakarta.
Nursalam. 2002. Manajemen keperawatan: aplikasi dalam praktik keperawatan profesional. Edisi 1. Salemba Medika: Jakarta.
Davis K & Newstrom JW. 1985. Perilaku dalam organisasi. Jilid 1. Edisi 7. Alih bahasa Agus Dharma. Penerbit Erlangga: Jakarta.
WHO. 2003. Nursing and midwifery workforce management: conceptual and framework. WHO Regional office for south east asia: India
A. Kebijakan Dan Perencanaan
Keterlibatan perawat dalam perumusan kebijakan dan perencanaan program
• Semua kebijakan kesehatan dan program mempengaruhi perawat
• Perawat secara langsung dipengaruhi oleh perubahan pada kebijakan kesehatan
• Keterlibatan perawat membantu percepatan perkembangan profesi keperawatan, termasuk kapasitas dalam bekerjasama secara konstruktif dalam sistem kesehatan
Rencana strategik keperawatan (dokumen kebijakan) sebagai bagian integral dari sistem pengembangan pelayanan kesehatan.
• Memberikan arah yang jelas untuk perkembangan SDM Keperawatan dengan pendekatan terstruktur dan POA yang spesifik serta kerjasama lintas sektor, lintas profesi dsb
• Mekanisme utama untuk pengembangan keperawatan pada suatu negara melalui pembentukan focal point (Direktorat Keperawatan), Badan Regulatori/Konsil
• Keterpaduan upaya pengembangan SDM (keterpaduan perencanaan SDM dengan pelayanan, perencanaan untuk SDM terintegrasi misal tim multidisiplin, keterpaduan proses perencanaan lintas disiplin, wilayah dan sektor)
Rencana dan kebijakan terkait dengan sumber dan finansial
• Meningkatkan efisiensi sumber dan cost containtment
• SDM merupakan investment
• Pengembalian investment memerlukan penanaman/ penggunaan finansial awal yang memadai
B. Pendidikan, Pelatihan dan Pengembangan
• Koordinasi antara pendidikan dan pelayanan
• Rekruitmen calon mahasiswa keperawatan
Rekruitmen calon mahasiswa keperawatan tidak hanya kuantitasnya saja, tetapi kualitas calon mahasiswa keperawatan juga sangat penting. Perekruitan sering pada orang-orang yang mempunyai bakat pada keperawatan/kebidanan yang menjadi meningkatnya kepentingan dan tidak hanya pada satu fokus saja. Strategi harus dikembangkan pada calon mahasiswa yang tidak mampu dari golongan sosial ekonomi rendah, yang mempunyai kualitas yang potensial sebagai perawat dan bidan (WHO, 2003).
• Pendidikan berdasarkan kompetensi
Burns menyatakan bahwa pendidikan berbasis kompetensi menguraikan perilaku nyata yang dituntut melalui peserta didik. Perilaku nyata ini sering disebut Obyektif Perilaku Terminal (OPT). Burns juga menyatakan bahwa objektif perilaku terminal adalah pernyataan secara jelas dan tertulis yang ekspresikan dari pandangan peserta didik yang menggambarkan perilaku nyata (dan kondisi dimana perilaku akan dijalankan) peserta didik yaitu untuk menunjukkan pada kahir periode instruksi. Obyektif perilaku terminal adalah pandangan ringkas, khusus yang diekspresikan dari pandangan peserta didik dan gambaran perilaku (Swansburg RC, 2001).
Obyektif perilaku terminal memerlukan tes kriteria referensi yang mengukur pemenuhan obyektif program. meskipun obyektif bukan jawaban untuk semua gambaran pendidikan, waktu yang digunakan dalam pengembangan OPT adalah bermanfaat (Swansburg RC, 2001).
Tiga elemen penting tentang obyektif kriteria yang berpusat pada peserta didik (Swansburg RC, 2001):
1. Kondisi: suatu deskripsi tenang pengujian lingkunngan yang mencakup masalah, materi dan bahan yang akan diberikan atau secara khusus ditiadakan dari pengukuran.
2. Kinerja: Perilaku peserta didik yang dapat diamati (atau produk dari perilaku tersebut) yang dapat diteima untuk instruktor sebagai bukti bahwa pembelajaran telah terjadi.
3. Standar: kriteria kualitatif dan kuantitatif terhadap kinerja peserta didik atau produk dimana kinerja akan diukur untuk menentukan keberhasilan pembelajaran.
Terdapat hirarkis tentang obyektif seperti didefinisikan dalam tiga taksonomi obyektif pendidikan yaitu kognitif, afektif dan psikomotor. Pada domain kognitif, hirarkis mencakup perilaku obyektif yang sesuai dengan ingatan atau pengenalan tentang pengetahuan dan pengembangan kemampuan dan ketrampilan intelektual. Domain afektif mempunyai obyektif yang menekankan perasaan dan emosi, seperti nilai, minat, apresiasi dan sikap. Domain psikomotor mempunyai obyektif yang menekankan ketrampilan motorik seperti melakukan, mempraktikkan dan mendemonstrasikan (Swansburg RC, 2001).
Karakteristik lain tentang obyektif adalah sebagai berikut (Swansburg RC, 2001):
a) Karakteristik dapat langsung diukur, dinilai atau diverifikasi.
b) Karakteristik adalah analitis dan tidak terbatas pada perilaku kognitif tingkat rendah.
c) Karakteristik dengan jelas dan secara singkat dinyatakan. Karakteristik menyatakan kondisi dimana peserta didik akan melakukan tugasnya.
d) Karakteristik adalah realistis dalam istilah manusia dan sumber daya fisik serta kemampuan.
e) Karakteristik mengarahkan penggunaan sumber daya melalui aktifitas instruksional.
f) Karakteristik dapat diterima atau praktis.
g) Karakteristik adalah komprehensif.
h) Karakteristik menunjukkan hasil yang diharapkan dari upaya pendidikan dan aktivitas akhir dari kinerja pendidikan.
i) Karakteristik menyatakan tingkat kinerja yang dapat diterima.
j) Karakteristik menunjukkan jaringan kerja peristiwa dan hasil yang diinginkan.
k) Kaakteristik fleksibel dan memungkinkan penyesuaian oleh peserta didik.
l) Karakteristik diketahui peserta didik yang akan menggunakannya.
m) Karakteristik berhubungan dengan kehidupan nyata.
n) Karakteristik ada untuk semua program pendidikan.
• Pembelajaran multidisiplin
• Budaya belajar sepanjang hayat
• Sistem pendidikan berkelanjutan
Pendidikan berkelanjutan adalah gagasan dimana pendidikan berlanjut setelah pendidikan profesional pra pelayanan. Pengetahuan dan teknologi tahap lanjut pada skala kontinu dan menuntut orang tersebut dalam melanjutkan profesi untuk mengembangkan pengetahuan dan ketrampilan yang berhubungan dengan teknologi tahap lanjut. Dalam keperawatan teknologi ini dihubungkan dengan perawatan pasien. Perawat profesional harus melanjutkan pendidikan dengan sasaran menjadi mampu memberikan asuhan keperawatan efektif yang paling baru (Swansburg RC, 2001).
Pendidikan berkelanjutan didefinisikan oleh ANA adalah aktivitas pendidikan yang direncanakan bertujuan untuk membangun dasar pendidikan dan pengalaman dari perawat profesional untuk meningkatkan praktik, pendidikan, adminsitrasi, penelitian atau pengambangan teori sampai akhirnya perbaikan kesehatan masyarakat (Swansburg RC, 2001).
C. Penempatan Dan Utilisasi
• Keterampilan dan kompetensi komplementer
• Infrastruktur keperawatan yang relevan
• Manajemen dan kepemimpinan yang efektif
• Kondisi kerja yang memadai dan pekerjaan yang terorganisasi secara efisien
• Sistem supervisi teknis
• Kesempatan pengembangan karir
Pengembangan staf sedang bergerak naik dari orientasi tipikal dan pendidikan dalam pelayanan, yang menekankan pendidikan berkelanjutan pada tingkat yang lebih tinggi dan menguasai perkembangan karir. Bila pengembangan staf untuk mendapatkan kinerja terbaik dari setiap orang, eksekutif kepala dan kepala departemen harus mengakui bahwa setiap karyawan mempunyai sasaran karir dan impian-impian. Suatu tekanan organisasi harus disusun yang menekankan stabilitas, sensitivitas dan perhatian pada pertumbuhan dan perkembangan setiap karyawan (Swansburg RC, 2001).
Pengembangan staf diselesaikan dengan cara yang lebih terfragmentasi oleh kebanyakan manajer pendidikan dan administratif. Departemen tertentu sering mengontrol kebijakan dan pembayaran biaya perkuliahan, jenjang karir sering dikelola oelh administrasi keperawatan dengan beberapa bantuan dari pendidikan (Swansburg RC, 2001).
Sistem keseluruhan untuk pengembangan staf dapat direncanakan dan diprogramkan, dengan staf yang ada sebagai masukan, pengembangan karir dalam berbagai dimensi sebagai proses pemindahan, dan tingkat pencapaian yang diharapkan sebagai keluaran. Interaksi dengan lingkungan praktik akan terus berlanjut. Perubahan dan umpan balik evaluatif dapat memasukkan kembali sistem pada titik manapun (Swansburg RC, 2001).
Sovie telah menggambarkan peran pengembangan staf dalam mengembangkan karir keperawatan profesional di rumah sakit. Ia mengembangkan model untuk perawat profesional yang dapat dengan mudah diadaptasi untuk penggunaan dalam sistem yang direncanakan atau sistem yang ada. Tiga fase dalam pengembangan perawat adalah sbb (Swansburg RC, 2001):
1) Identifikasi profesional, dimana individu terorientasi pada karir.
2) Maturasi profesional, dimana potensial terhadap perkembangan dan perluasan kompetensi dikenali.
3) Penguasaan profesional, dimana potensial terhadap aktualisasi diri dicapai.
• Sistem insentif
Sistem insentif ekonomi tertentu dapat diterapkan pada hampir semua pekerjaan apapun. Gagasan pokoknya adalah meragamkan bayaran pegawai sesuai dengan kriteria prestasi individu, kelompok atau organisasi (David K & Newstrom JW, 1985).
Insentif yang berhasil dapat menimbulkan imbalan psikologis dan juga imbalan ekonomi. Ada perasaan puas yang timbul dari penyelesaian pekerjaan yang dilakukan dengan baik. Citra diri mungkin meningkat karena perasaan kompeten.
Kelemahan insentif upah adalah sebagai berikut (David K & Newstrom JW, 1985):
a) Insentif upah biasanya mensyaratkan penetapan standar prestasi.
b) Insentif upah dapat memperumit pekerjaan para penyelia.
c) Masalah yang sulit dengan insentif upah adalah goyahnya harkat.
d) Insentif upah dapat menimbulkan ketidakharmonisan antara karyawan insentif dengan karyawan jam-jaman.
• Kepuasan kerja
Faktor yang mempengaruhi penampilan dan kepuasan kerja adalah (Nursalam, 2002) :
1) Motivasi
Menurut Rowlan & Rowland dalam Nursalam (2002) fungsi manajer dalam meningkatkan kepuasan kerja staf didasarkan pada faktor-faktor motivasi, yang meliputi:
- Keinginan untuk peningkatan.
- Percaya bahwa gaji yang didapatkan sudah mencukupi.
- Memiliki kemampuan pengetahuan, ketrampilan dan nilai-nilai yang diperlukan.
- Umpan balik
- Kesempatan untuk mencoba.
- Instrumen penampilan untuk promosi, kerjasama dan peningkatan penghasilan.
2) Lingkungan
Faktor lingkungan juga memegang peranan penting dalam motivasi. Faktor lingkungan tersebut dapat meliputi:
a) Komunikasi
- Penghargaan terhadap usaha yang telah dilaksanakan.
- Pengetahuan tentang kegiatan organisasi
- Rasa pecaya diri berhubungan dengan manajemen organisasi
b) Potensial pertumbuhan
- Kesempatan untuk berkembang, karir dan promosi
- Dukungan untuk tumbuh dan berkembang: pelatihan, beasiswa untuk melanjutkan pendidikan, pelatihan manajemen bagi staf yang dipromosikan.
c) Kebijaksanaan individu
- Mengakomodasi kebutuhan individu: jadwal kerja, liburan dan cuti sakit serta pembiayaannya.
- Keamanan pekerjaan
- Loyalitas organisasi terhadap staf
- Menghargai staf: agama, latar belakang
- Adil dan konsisten terhadap eputusan organisasi.
d) Upah/gaji
- Gaji yang cukup untuk kebutuhan hidup.
e) Kondisi kerja yang kondusif
3) Peran manajer
Ada dua belas kunci utama dalam kepuasan menurut Rowland & Rowland (Nursalam, 2002) :
a) Input
b) Hubungan manajer dan staf
c) Disiplin kerja
d) Lingkungan tempat kerja
e) Istirahat dan makan yang cukup
f) Diskriminasi
g) Kepuasan kerja
h) Penghargaan penampilan
i) Klarifikasi kebijaksanaan, prosedur dan keuntungan
j) Mendapatkan kesempatan
k) Pengambilan keputusan
l) Gaya manajer.
DAFTAR PUSTAKA
Swansburg, RC. 2001. Pengembangan staf keperawatan: suatu komponen pengembangan SDM. Alih bahasa Agung Waluyo, Yasmin Asih. Edisi 1. EGC: Jakarta.
Nursalam. 2002. Manajemen keperawatan: aplikasi dalam praktik keperawatan profesional. Edisi 1. Salemba Medika: Jakarta.
Davis K & Newstrom JW. 1985. Perilaku dalam organisasi. Jilid 1. Edisi 7. Alih bahasa Agus Dharma. Penerbit Erlangga: Jakarta.
WHO. 2003. Nursing and midwifery workforce management: conceptual and framework. WHO Regional office for south east asia: India
Langganan:
Postingan (Atom)